Setiap orang pasti pernah mengalami patah hati. Rasa kecewa yang luar biasa, bikin lemes nangis, bahkan juga yang mampu menahan terisak pun atau blagak kuat juga bakal bisa ambruk meski tidak di depan banyak orang. Patah hati bukan soal gagal cinta melulu. Ada banyak penyebab patah hati mulai dari ekspektasi atau harapan yang tidak kesampaian padahal konon sudah berupaya maksimal. Ditinggal orang yang dicintai seperti orang tua, saudara, sahabat, teman dekat, pacar, pasangan hidup juga bisa bikin patah hati. Tegasnya, segala sesuatu yang mengecewakan dengan amat sangat atau tidak berjalan sesuai yang diinginkan juga bisa bikin patah hati.
Kualitas patah hati berbeda-beda, mulai dari yang ringan seperti berasa lesu hingga berat kayak mau mati. Akan tetapi hal yang membetot adalah menurut riset ternyata patah hati mempengaruhi langsung secara fisik, terutama rasa sakit di dada. Emosi-emosi yang negatif ternyata bisa membuat tubuh berasa tidak nyaman, nyeri, dan bahkan berbahaya jika dibiarkan berlarut-larut. Jadi persoalan patah hati itu bukan perkara enteng. Selain bisa menyebabkan resiko psikis seperti trauma berkepanjangan, dampaknya terhadap tubuh juga luar biasa. Orang bisa menangis tanpa terasa, atau juga muncul penyakit lain di dalam tubuh gegara patah hati tak kunjung usai.
Lantas bagaimana cara mencegahnya? Urusan psikis tentu saja mengikuti kedalaman permasalahan dan efek yang dirasakan oleh orang per orang. Semuanya jelas berbeda. Akan tetapi untuk mencegah agar urusan emosional patah hati tidak merembet ke hal-hal lain yang, haruslah dengan menjaga tubuh terlebih dahulu. Mengelola pola makan adalah kunci agar tubuh bisa bertahan terhadap dampak yang menyakitkan itu. Ketika orang patah hati sudah ngambeg nggak mau disuapin, sebenarnya itu sudah pertanda ia secara sadar atau tidak sadar sudah membiarkan tubuh dirusak oleh efek dari emosi negatif.
Emangnya nggak sayang badan? Sayangnya, orang patah hati kerap membiarkan emosi negatif mengambil pertimbangan, menutup nalar dan beresiko terhadap psikis maupun tubuh. Jadi bolehlah, pikiran kacau dan perasaan campur aduk. Akan tetapi tubuh harus tetap menerima asupan sebab tubuhlah yang menopang selama ini. Jika pengelolaan pola makan tetap berjalan, barulah urusan-urusan lain bisa diselesaikan kemudian.
Mengapa demikian? perasaan adalah yang menunjuk arah, pikiran adalah komandan, tapi tubuh yang selalu memberi dukungan bahkan di saat-saat buruk sekalipun. Maka siapa bilang patah hati cuma urusan hati?