Pernahkah kita siap dengan suatu perubahan besar yang mendadak dan tiba-tiba? Boleh dibilang nyaris nggak pernah. Bisa jadi orang punya bayangan "just in case" atau kalo saja terjadi. Tapi seberapa siap? Apa yang pernah dilakukan. Malah kemungkinan nol besar. Ambil saja contoh soal tanggap darurat bencana. Itu yang paling besar. Tujuan tanggap darurat bencana adalah melatih situational awareness ketika terjadi potensi bahaya yang mengancam properti dan keselamatan diri. Contohnya, apa yang harus dipersiapkan secara utama dan sistematis jika terjadi gunung meletus gempa bumi, banjir, longsor, kebakaran, perampokan, kelaparan, padam listrik, sumber air menipis dan bencana lain? Nyaris nggak ada. padahal segala jenis bencana seperti itu kerap mungkin terjadi. Jangan bayangkan Indonesia tanah subur dimana tongkat kayu bisa jadi tanaman seperti lagu Koes Plus. Hidup di khatulistiwa dengan dua musim juga tidak luput dari cuaca ekstrim seperti panas dan kekeringan. Apalagi cuaca dunia mengalami perubahan gegara pemanasan global. Hujan bisa datang di pertengahan tahun dan kemarau tidak kunjung usai. Tidak ada antisipasi semisal menyiapkan alat pemadam di rumah masing-masing, P3K yang sederhana, senter darurat, alat survival atau bahkan obat-obatan sekalipun secara berkala. Jadi jangan jawab pula hanya nunggu bantuan pemerintah. Kan aneh.
Sama halnya dengan tanggap darurat kesehatan yang sifatnya lebih personal. Ini bertujuan untuk melatih kesiapan secara teknis individu ketika terjadi potensi bahaya yang mengancam orang lain secara langsung. Contohnya, apa yang harus dilakukan ketika terjadi serangan jantung, epilepsi, stroke, tekanan darah rendah atau tinggi, pertolongan pertama ketika terjadi luka, mana yang boleh dan tidak boleh ketika ada kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tujuannya juga sebagai bentuk pencegahan dan antisipasi. Tanggap darurat ini jarang dilatih atau dibiasakan sejak dari sekolah. Paling banter dijadikan unit kegiatan doang. Padahal secara personal ini merupakan bentuk pengetahuan sekaligus juga praktik ketika orang di sekeliling kita ada yang mengalami dan setidaknya prosedur yang dilakukan adalah benar.
Jadi jujurly terus terang, orang Indonesia nggak punya narasi yang cukup bagus soal bencana apalagi yang datang tiba-tiba. Tidak terbiasa bahkan hidup dengan mengundang situasi yang berbahaya lantaran dianggap tidak ada pilihan laim. Saking banyaknya penduduk, maka tinggal berjejalan dengan listrik dicantel sana sini. Atau tanah yang tidak stabil pun dijadikan lahan perumahan. Ketika terjadi kebakaran atau longsor dan mengakibatkan korban jiwa, maka itu semua dianggap cobaan. Meratapi nasib sambil nunggu bantuan pemerintah. Kalo jumlah korban cukup masif, dikenanglah tiap tahun dengan bikin monumen, peringatan, upacara renungan dan ritual menyalakan lilin. Ya sudah segitu doang. Maka narasi itu berhenti pada urusan cobaan atau godaan Tuhan. Emangnya siapa yang bisa kasih justifikasi kalo Tuhan maunya begitu? Bukankah segala sesuatu yang menjadi tragedi adalah karena kebebalan manusia? Ntar ujung-ujungnya setan pula dibawa-bawa.
"Your Optimism Is Misplaced, Asgardian." ~Thanos
Maka membangun narasi semacam itu, orang hanya sampai pada pengulangan atau repetisi kejadian yang tidak pernah terpikir dan tanpa pernah ada upaya sistematis untuk mengurangi resiko. benar-benar jadi kehilangan arah. Tau-tau kejadian lagi. Sama seperti apa yang disebut banjir tahunan; sudah tau tiap tahun terjadi tapi solusinya hanya sekedar bansos dari pemerintah. Sebab kapan lagi bisa dapet beras, mi instan dan telor gratis? mau sungainya diperlebar kek, hunian direlokasi kek, bukan jawaban yang diinginkan. Jadi tanpa narasi orang kehilangan arah gegara hanya soal ingin ketimbang butuh. Memilih bertindak untuk tidak bertindak. Padahal tanpa tindakan juga jelas nggak akan kemana-mana juga. Sama kayak orang berkhayal, punya konsep begini begitu tapi jalan ditempat. Ngemeng doang. Banyak mau, luber wacana tapi giliran kerja malah ngedumel dan mogok. Jadi jangan heran jika orang yang tidak punya situational awaress yang baik dan kemampuan antisipatif yang mumpuni, ya cuma jadi sekedar hidup. Padahal skills semacam itu nggak cuma berlaku buat tanggap bencana tapi ketika dihadapkan pada pilihan hidup yang sudah barang tentu penuh perubahan tiba-tiba.
Ah, gegara kenyamanan palsu maka orang sampe mendeg kayak begitu. Atau jangan-jangan udah bener ide Thanos memusnahkan separuh populasi dunia? udah kebanyakan, nggak mikir dan nggak ngapa-ngapain juga ternyata.