Cari kerja itu sulit. Apalagi kerja profesional. Berat. Banyak yang tidak siap dengan mempertaruhkan ekspektasi berbanding lurus dengan realitas yang dihadapi. Bayangin aja, sekolah capek-capek, lama-lama, ngabisin duit orangtua, lulus pas-pasan, terus bingung apakah ijasah dan gelar yang dimiliki kemudian bisa menghasilkan sesuatu? Apalagi yang masih bergumul dengan idealisme; pikirnya, ngapain juga dalam skema kapitalisme yang kemudian meniadakan kemerdekaan seseorang untuk memilih jalan hidup dan memaksanya masuk jadi budak korporat? Ciyeh, abis itu balik lagi ke rumah minta disekolahin lagi. Iya kalo emak bapaknya tajir jadi birokrat atau kapitalis. Sebab ada juga yang menggantungkan harapan kepada anaknya tapi berujung dipehapein kayak gitu. Apa yang dipunya lama-lama ludes. Begitu nggak kesampean, namanya anak berbakti kemudian menyalahkan kondisi itu kepada negara, kepada pemerintah, kepada siapa saja yang dianggap kontraproduktip dan kontra repolusioner.
Itulah sebabnya ketika lulus dan berandai-andai ingin bisa sukses, maka banyak atribut lepas yang bisa diambil sebagai bentuk profesi dengan kadar intelektual tinggi. Misalnya memberi label diri sebagai penulis, peneliti, fasilitator, atau konsultan. Paling sial ya pegiat atau pengamat. Siapa yang berani protes di negara ini? Nggak bakalan ada. Label artifisial semacam itu hanya jadi keren ketika tampil bombastis di media sosial. Apalagi jaman sekarang gampang bener bikin seminar, simposium, diskusi panel, epjidi-epjidian alias pokus grup meski ujungnya tetep aja panel, dilengkapi sertipikat model girik tanah pake nomor seri dan tanda tangan panitia yang nota bene temen sendiri. Jadi semua sibuk mematut diri bergaya merak seolah udah paling bener, paling tau dan paling bisa.
Apakah kemudian benar profesional? Cara paling mudah adalah dengan melacak jejak rekam atas pengakuannya. Kalo menulis, ya seberapa intens, fokus dan banyakkah yang dihasilkan. Apakah ada artikel, buku atau kalo pake jubah akademik ya jurnal. Manakah yang memang bertujuan untuk memenuhi hasrat intelektual atau perut juga bisa kelihatan. Lumayan kan beberapa ratus rebu bisa buat ngopi atau nyicil espepe bocah. Kalo jadi peneliti, apalah amatir lepasan, punya kontrak, punya pekerjaan atau bisa ngasih pekerjaan. Kalo fasilitator, berapa banyak jam terbang; apakah biasa maen di ranah esjewe, birokrasi atau profesional. Kalo konsultan, apa bidangnya, berapa lama dia manggung, punya kantor sendiri nggak apa status legalnya, punya annual rate card nggak, ikut tender atau penunjukan, biasa bersaing atau terima limpahan.
Kerja intelektual semacam ini memang tidak perlu sertifikasi selama tidak bermain di ranah birokrasi. Ranah semacam itu umumnya menyebalkan karena sistem pembayaran payah, klien sering nggak tau apa yang dimau dan kalo ada kenalan umumnya proyek yang didapat berbasis senior junior dengan pagu kecil tapi rutin. Bermain di ranah esjewe juga sama; ada relasi yang harus dibangun sehingga biasanya yang main juga lu lagi lu lagi. Bagaimana dengan profesional? Maap aja, prioritas pertama adalah jelas reputasi. Begitu masuk dan anyep, jangan harap bisa gampang untuk bisa meraih kepercayaan. Maka main di dunia profesional selalu menantang, baik beban kerja maupun bayarannya.
Jadi jangan heran, jika ada yang sering ngaku entah jadi penulis, peneliti, fasilitator, atau konsultan tapi semuanya amatiran ya nggak bisa kemana-mana juga. Bisa jadi itu hanya sekedar refleksi kejenuhan sosok intelektual yang emang nggak bisa jauh-jauh dari dunia serba monoton dan jadi menara gading. Dunia yang mewajibkan orang bisa nulis, bisa ngajar dan bisa meneliti. Tapi yang mutlak sudah pasti ngajarlah. Meski ala-ala tekstual itu tetap kewajiban. Lainnya boleh coba-coba di luar. Untungnya, dunia profesional tidak kemakan isu semacam itu. Mau profesor kelas wahid kek hingga dosen kontrak kek, semua ada proses seleksi mulai dari persuasi, cara bikin proposal, budgeting, presentasi, koordinasi, eksekusi, penulisan laporan, presentasi lagi hingga kemudian meraih kepercayaan dan komitmen. Selesai sampe disitu? Belumlah. Seleksi yang nggak kalah pentingnya adalah seberapa kualitas sebuah pekerjaan dilihat dari bobot strategis, klien dan anggaran yang dimiliki. Kalo cuma meneliti ecek-ecek dah banyak. Anggaran gede bisa dibagi-bagi buat ngerjain apa dan yang mana. Tapi berpikir strategis, memberi solusi, kasih rekomendasi dan menjadi visioner belum tentu semua peneliti bahkan konsultan bisa.
"A professional is someone who can do his best work when he doesn't feel like it." ~Alistair Cooke
Kalo dah nggak kemana-mana, ya udah berlindung dibalik menara gading, atau nangkring di kantin udah paling bener. Melanjutkan mimpi-mimpi intelektual berasa pintar, tapi bukan pekerjaan yang sebenarnya. Atau kembali duduk manis di kantor sambil mikirin cicilan juga udah benar. Sebab nggak ada jalan di antaranya yang bisa dipilih jadi sambilan atau sekedar label. Menjadi profesional itu berat. Mengkhayal proposal tiga digit juga berat. Enakan ngelamun. Sambil berak lebih nikmat.