Hidup manusia semakin lama semakin sumpek dan pengap. Relasi antara manusia dan lingkungannya secara perlahan berubah menjadi sesak, bising dan kehilangan arah. Kompetisi selalu berkembang bahkan menuju ke arah yang tak sehat. Lingkungan bertambah buram dengan polusi yang tidak terselesaikan. Alam yang selalu tidak ramah, ternyata tidak gampang untuk ditaklukan. Peradaban yang semakin maju dan bertambah modern, menambah sekat serta mempersempit partisipasi manusia dalam hidup yang semakin bergantung kepada teknologi meski miskin literasi.
Itu hanya beberapa contoh fenomena yang muncul dan kemudian memiliki kontribusi dalam pengaruhnya terhadap sikap manusia. Orang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup yang selalu bertambah dan mengganjal. Orang menginginkan alternatif yang berbeda ketimbang jalannya hidup yang konvensional, monoton dan dianggap tidak pernah memberi kepuasan secara meluas bahkan mendalam. Caranya? Jika urusan duniawi termasuk duit tidak bisa dipegang, maka paling mudah adalah memegang keyakinan. Jika imin kagak kuat, maka butuh iman. Sejalan dengan alasan seperti kekosongan batin atau kehampaan duniawi, maka dikejarlah semua yang berbau surgawi atau sekurangnya rasa nyaman dalam jawaban-jawaban yang bisa diberikan meski sementara. Kok cuma sementara? Ntar kalo dah mati barulah paham seutuhnya.
Fenomena semacam itu sudah muncul berulang kali di dalam sejarah peradaban. Semisal terakhir gelombang kebangkitan New Age tahun 1970an yang membuat orang menjadi hippies, menggabungkan kehidupan alam pikir Barat dengan spiritualitas Timur, maka lahirnya para junkies, musik psychedelic, beragam aliran kepercayaan dan sejenisnya. Hal yang sama sebenarnya juga muncul ketika di awal abad Ke-21 muncul konservativisme, fundamentalisme dan upaya-upaya membuat agama kembali ke akar yang dianggap asli. Ini dianggap sebagai sebuah pencarian baru meski gesekan antar keyakinan menjadi semakin kuat dan tidak jarang terjerembab kepada fanatisme buta bahkan terorisme. Perilaku orang juga menjadi semakin aneh. Ada yang mendadak rajin beribadah, merasa diri berbeda bahkan superior ketimbang orang lain, ada yang berpikir sudah mendapat jalan yang lurus dan benar serta memaksa yang lain untuk ikutan supaya tidak tersesat, ada juga yang tetiba gandrung dengan simbol atau atribut meski cuma kulit-kulitnya doang kayak main bakar dupa atau tabur bunga, ada yang begitu percaya kepada sosok bahkan figur yang dianggap bisa membebaskan, bahkan ada juga yang yakin bahwa dirinya punya kualitas kesucian sehingga jijik kepada alam yang fana ini. Gila nggak? Gila semua pasti.
“Constantly exposing yourself to popular culture and the mass media will ultimately shape your reality tunnel in ways that are not necessarily conducive to achieving your Soul Purpose and Life Calling. Modern society has generally ‘lost the plot’. Slavishly following its false gods and idols makes no sense in a spiritually aware life.” ~Anthon St. Maarten
Maka pencarian jawaban semu seperti itu di satu sisi memuaskan batin orang yang selalu merasa serba kurang. Mereka butuh kenyamanan untuk bisa berpegang dalam dunia yang kejam. Banyak di antara mereka orang yang terdidik bahkan mapan secara sosial ekonomi. Akan tetapi itu dianggap tidak pernah memberi ketenangan atau meredam kegelisahan atas pertanyaan soal kehidupan dan kematian. Maka relasi vertikal dengan siapapun kek yang diyakini ada di atas sono dilihat sebagi titik kulminasi penting, entah mau dibilang relijiyes atau spiritual sebenarnya ya sama aja.
Di sisi lain, ada benturan horizontal yang kemudian muncul ketika klaim atas kebenaran itu mendadak jadi hype, jadi nilai yang harus ditegakkan. Ibarat bangga punya titit baru diurut gede, maka harus dipamerin dan memaksa orang lain untuk merasakan. Sialnya, fenomena semacam itu seperti ditulis di atas bukanlah hal baru melainkan berulang-ulang sepanjang abad. Kalo sukses bisa jadi tokoh, kalo gagal ya cuma jadi noda sejarah. Maka konflik atas nama agama dan keyakinan nggak pernah usai. Semakin jaman bergerak, semakin benturan antar manusia menguat dan mengeras. Konflik yang terjadi bukan saja dipahami dengan kekerasan fisik yang destruktif tapi juga kompetisi nilai dalam pertarungan virtual melalui media sosial. Kalo nggak bisa ngajak, ya minimal pamer dong.
Terus elu merasa udah menemukan jawaban atas pertanyaan hiduplo yang rumit itu? Cakep.