Umumnya orang males begitu mendengar kata 'masalah'. Apa yang terbayang biasanya tidak lebih dari kesulitan, beban menumpuk, bikin pusing kepala dan pegel ati, terus jadi beban yang menumpuk. Reaksi orang biasanya juga macem-macem. Kebanyakan pada menghindari masalah. Kalo pun masalah sudah datang, dianggap tidak ada. Seolah-olah bisa selesai sendiri. Padahal tidak akan pernah bisa begitu. Kalo sudah datang dan dibiarin lama-lama numpuk beranak pinak dan semakin sulit ditangani.
Lantas bagaimana cara sesungguhnya menghadapi masalah? Ini soal mindset atau pola pikir. Kalo belum apa-apa udah jiper atau males, ya nggak akan kemana-mana. Mengubah pola pikir adalah pekerjaan awal untuk bisa melihat masalah dengan jernih. Pada dasarnya semua bisa berubah dan punya solusi seandainya pola pikir yang sehat bisa terbentuk. Berpikir sehat dan jernih tidaklah selalu positif melulu. Bisa juga negatif. Itu wajar. Berpikir positif yang terlalu sering juga bisa menumpulkan akal, menjadi naif dan nggak bisa melihat keluasan masalah. Berpikir negatif juga ada gunanya; mengantisipasi segala kemungkinan dalam penyelesaian masalah. Tapi berpikir negatif melulu juga merugikan. Jadi overthinking dan parno melihat apapun. masalah bisa jadi nggak selesai tapi malah cuma dipikirin jangan-jangan begini begitu.
Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana memposisikan masalah itu sendiri di dalam tempatnya. Kalo masalah hanya jadi masalah, ya nggak kemana-mana juga. Padahal masalah itu penting ada. Masalah harus bisa mendewasakan orang, harus bisa melatih problem solving, harus bisa memberi benefit berupa pengetahuan untuk solusi jika terjadi hal yang sama. Jadi di fase berikutnya, masalah harus bisa menjadi challenge atau tantangan. Maka nggak heran jika orang yang terbiasa menghadapi masalah, bisa menjadi mature atau dewasa di dalam hidupnya, bisa jadi lebih tenang dan nggak kagetan apalagi panikan, bisa dengan dingin mengantisipasi seandainya ada masalah serupa atau bahkan yang baru. Pada tahap berikutnya, masalah tidak saja menjadi tantangan tetapi juga opportunity atau peluang. Kok bisa? Semisal di dalam bisnis, sebuah produk mengalami kesulitan karena supply chain bermasalah. Maka tantangannya adalah untuk bagaimana menyelesaikan persoalan distribusi bahan baku hingga sales dan marketing. Peluangnya adalah, apakah memungkinkan untuk membentuk lini distribusi menjadi bisnis yang dikuasai dan tidak bergantung kepada pihak lain? Dengan demikian si pelaku bisnis bukan saja punya tantangan untuk mengantisipasi, tetapi juga pengembangan bisnis baru yang kemudian punya nilai keuntungan tersendiri. Bagaimana inovasi dan invensi kemudian bisa dilakukan? Nah, jadi masalah baru kan yang harus juga dipikirkan.
“Every problem is an opportunity in disguise.” ~John Adams
Itulah sebabnya manusia nggak pernah lepas dari masalah jika memang ingin berkembang. Pola tersebut tidak saja berlaku di dalam bisnis, tetapi juga dunia profesional lainnya dan bahkan personal. Manusia bakalan anyep jika nggak ada masalah. Gitu-gitu doang, anyep dan nggak kemana-mana. Aman-aman aja keknya, tapi membosankan tanpa ada dinamika. Pencapaian tertinggi adalah ketika orang bisa mengubah masalah bukan saja menjadi tantangan tetapi peluang. Bahkan ketika peluang muncul dan diolah menjadi sebuah kekuatan baru, maka antisipasi terhadap kelemahan dan ancaman juga muncul. Jadi intinya hidup adalah sebuah bentuk mengolah masalah yang kalo pun selesai, tetap akan memaksa orang untuk berproses dan berkembang. Semakin jauh seseorang bisa berkembang sejalan dengan usia, pengalaman dan jam terbang maka kualitas masalah yang muncul akan jauh berbeda.
Jadi nggak ada ceritanya orang bisa narik nafas lega. Itu cuma sementara. Kebahagiaan dan hasil yang menggembirakan adalah bonus. Justru yang harus menjadi target adalah bagaimana proses untuk berkembang itu semakin menumbuhkan mental yang kuat. Jangan cuma menggerutu aja di pinggiran dan melengos kalo orang lain sudah lebih maju. Mereka yang lebih berhasil itu sudah kenyang digebuki persoalan dan bisa menyelesaikannya dengan baik. Sementara yang nyinyir boro-boro cari masalah. Ngadepin aja juga nggak berani. Ya selamanya cuma ngiler gigit jari. Kasian kan? Jadi marilah cari masalah. Eh, nggak gitu juga kali ya.