Sebagian besar orang sudah pasti pernah mengalami situasi yang tidak nyaman, bahkan tidak menyenangkan di dalam hidupnya. Ada temen yang buruk beracun, lingkungan pergaulan, keluarga, tempat tinggal dan atau kerja yang tidak sehat, pasangan yang tidak mendukung, bahkan orang tua atau kerabat yang membuat hidup semakin berat. Namanya juga berinteraksi dengan orang lain kan? Mana ada yang seratus persen menyenangkan atau sebaliknya tidak menyenangkan sama sekali.
Oleh karena tidak ada yang seratus persen, maka mereka yang berada di dalam situasi semacam itu banyak pula yang ragu dan bahkan cenderung membiarkan. Gapapa kok memang sudah resiko, harus bisa dijalani, sabar-sabar aja, sudah semestinya dan berpuluh alasan sebagai pembenaran. Padahal dalam hati, bisa saja sudah menjerit lelah atau nggak tau harus bagaimana. Lebih parah lagi, kecenderungan membiarkan sudah menjadi pembiasaan yang berujung kepada zona nyaman tersendiri. Jadi zona nyaman bukanlah semata menikmati keadaan tertentu, tapi juga berarti memaksa diri untuk menerima situasi yang ada. Keduanya tetap sama; memelihara ketidakmampuan untuk melihat perencanaan olebih jauh seperti pengembangan diri atau berusaha meraih kehidupan yang lebih baik. Bukankah itu sama saja dengan menyiksa diri?
Berkaitan dengan situasi semacam itu, banyak yang tentunya sudah paham bahwa cara satu-satunya adalah dengan memotong atau cut off secara menyeluruh. Meninggalkan habitat atau ekosistem yang beracun adalah keputusan terbaik untuk bisa membuat diri ini waras, punya spektrum wawasan yang lebih luas, mampu beranjak lebih baik dari situasi yang ada. Tapi namanya manusia, nggak melulu bisa mengambil keputusan hanya berdasarkan akal. Tetap saja ada perasaan yang bermain. Entah dengan alasan kasihan, nggak tega, cinta, sayang, malu, nggak enakan, apalah itu. Perasaan jadi lebih dominan terlebih jika melihat orang di kanan kirinya dianggap butuh perlakuan atau perlindungan. Jadilah superhero kesiangan. Alih-alih pergi karena mengeluh setiap hari, malah jadi semakin membelit diri terjebak pada hal-hal yang superfisial di dalam relasi yang tidak sehat dengan orang lain. Di satu sisi, mereka yang beracun jadi keenakan gegara sudah merasa ada jaminan kenyamanan yang permanen. Seburuk-buruknya perlakuaan atau keadaan nggak bakal ditinggal. Di sisi lain, orang yang mengeluh merasa berat lama-lama menikmati juga keadaan secara dilematis. Otaknya berontak, tapi perasaannya lebih berat.
“Did you ever stop to think, and forget to start again?” ~Winnie the Pooh
Maka memilih dan bertindak secara rasional itu harganya mahal. Siapapun bisa membayangkan rencana, antisipasi bahkan pilihan-pilihan akal hingga sejauh-jauhnya, tapi siapa pula yang berani melakukan? Bisa dihitung dengan jari. Nggak ada orang yang kemudian seratus persen mampu mengeksekusi rencana, sepanjang perasaan masih jadi pertimbangan apalagi secara dominan. Nggak ada manusia yang bisa sepenuhnya menjalankan ide atau rencana kalau masih dikit-dikit pake hati. Lantas apakah dengan demikian harus mengabaikan perasaan dan nggak peka? Jelas tidak. Justru perencanaan awal adalah dengan menimbang bahwa ada unsur perasaan yang harus diambil. Kalo emang sayang sama diri sendiri, ya tinggalkan yang beracun. Kalo sayang sama orang lain, bantu mendewasakan dengan membiarkan untuk bisa mandiri, kalo nggak mau menyakiti ya lepaskan. Bukankah itu semua pake perasaan? Hanya saja ketika sudah masuk kepada pilihan ya sepantasnya akal menjadi tumpuan, bukan malah sebaliknya. Pantes aja banyak yang gagal; udah capek mikir pake otak, tapi kemudian jadi nggak ngotak gegara maen perasaannya belakangan.
Itu menjawab mengapa hingga saat ini tidak semua orang bisa lepas dari dilema permasalahan yang sebenarnya hanya butuh satu keberanian untuk menyelesaikan. Potong tak bersisa, tinggalkan. Tapi begitulah manusia; kalo udah demen ya taik kucing berasa coklat toblerone. Kalo dah terlanjur, ya bilangnya syukur. Kalo dah ngeblangsak, ngakunya dijebak. Nggak ada habisnya memang. Cemen? Sudah pasti.