Setiap orang pasti punya impian, cita-cita atau keinginan akan hidup yang bukan saja lebih baik tapi terbaik. Mau punya duit banyak, pekerjaan bergengsi, tempat tinggal bagus, hidup nyaman, kecerdasan yang tersalurkan, pasangan ideal, membahagiakan diri dan orang lain, serta beragam harapan lain. Akan tetapi jarak antara asa dan kenyataan itu biasanya punya rentang yang sulit dijangkau. Bukan apa-apa, sebab harapan dan realitas itu suka bertolak belakang. Itu pasti. Jadi apa yang dimau sebagai sesuatu yang manis dan berbuah, bisa jadi ada sebagai barang yang getir dan tanpa hasil.
Maka tidak heran jika kemudian orang berusaha semaksimal mungkin untuk memperkecil jarak antara impian dan kenyataan di dalam keseharian. Ada yang berupaya setengah mampu jungkir balik, kalo perlu curang memanipulasi. Ada juga yang menerima dan sejak awal nggak terlalu ngarep karena tau modalnya emang sedikit. Udah miskin, bodo, gak gaul, terbelakang, dan sebagainya. Mereka yang berusaha, sudah pasti ada yang berhasil dan ada yang gagal. Berhasil karena punya ekpektasi minimal, memperkecil jarak sesuai kemampuan. Gagal karena proses yang dilakukan justru adalah memaksa atau membuat realitas atau kenyataan itu mendekat. Ibarat lu manggil tukang bakso dari kejauhan, kalo dia nggak denger dan suara elu terbatas ya sudah tunggu yang lain. Ini malah teriak, sampe leher sakit, beli pengeras suara dan kalo perlu menghasut tetangga untuk ikutan. Pegel? Ya pasti.
Artinya, sebagian orang yang berusaha ada pula yang memaksakan cara dan kemampuan berpikir mereka untuk hal yang nyata sudah berada di luar jangkauan. Alih-alih memelihara satu burung di tangan, malah tergiur oleh sepuluh lainnya di pohon. Imajinasi bisa menipu, akal bisa tidak berhitung, hanya gegara ketidakmampuan untuk mengukur bagaimana rencana bisa menjadi tindakan. kalo pun sukses, ongkos yang dibayar cukup mahal yakni berupa waktu. Secara konseptual sih bagus, tapi dalam prakteknya belum tentu bisa. Maka kecurangan, jalan pintas, manipulasi, memanfaatkan orang lain itu jadi pilihan. Jadi akal yang terkendali kemudian membuat realitas menjadi semu dan memberikan hasil yang palsu.Lucunya, sampai pada tahap ini, kepura-puraan itu masih tetap berlanjut. Berlagak menerima hasil dengan legowo atau pasrah, melanjutkan hidup dengan kenyamanan yang dibuat-buat. Pura-pura bahagia. Padahal kecewa ya kecewa aja kali.
Pola semacam ini menjadi terus berulang dalam setiap periode kehidupan. Same shit, different stories. Sebab mereka tidak pernah belajar untuk mengelola bukan saja ekspektasi tapi mengubah cara pandang dan cara pikir tentang bagaimana memulai dan bagaimana juga mengakhiri dengan baik. Latar traumatik, problem mental, kebiasaan, pendidikan dan lingkungan tentu saja bisa membuat orang bermasalah bukan saja dalam soal perencanaan hidup tetapi juga relasi dengan orang lain, komunitas hingga bagaimana posisi sosial yang bersangkutan. Konyolnya, kayak gini kemudian menyalahkan orang lain. Padahal pola nggak pernah menipu. Kalo nyaris semua orang jadi dianggap bermasalah dengan dirinya, sudah pasti variabel tetapnya yang perlu diganti kan?
“Some people are happy only because they have managed to deceive others into believing that they are happy.” ~Mokokoma Mokhonoana
Maka menjadi terbaik dengan hasil sukses sekaligus bahagia itu nggak gampang. Butuh pola pikir yang kemudian merujuk tentang tindakan yang dilakukan juga punya dampak positif buat orang lain. Butuh mental yang kuat untuk benar-benar bisa melihat bahwa getir, gagal, itu hal biasa yang menjadi bagian dari proses berkembang. Butuh pemahaman bahwa ada kontribusi sosial yang harus bisa dilakukan dan bukan sekedar mendapatkan hasil buat diri sendiri. Artinya, ada faktor relasi yang harus dipelihara, ada ruang hidup yang harus dijaga, ketimbang blagak super bisa untuk menyelesaikan dan mencapai tujuan. Tau-tau begitu dihajar kenyataan yang nggak tersentuh itu kemudian memaksakan diri untuk tetap berada di tempat. Di sini lebih konyol lagi. Setelah nggak bisa memanipulasi proses, maka memanipulasi hasil. Pura-pura bahagia jadi eskapisme untuk bisa menutupi rasa luka dan malu. Ya minimal bisa senyumlah meski cuma serpihan di media sosial. Satu burung lepas, sepuluh burung terbang. Cabutin sekalian pohonnya. Gitu ya?