Punya comfort zone alias zona nyaman itu menyenangkan. Ada ruang dimana segala hal bisa dikuasai, dikendalikan, dinikmati dan diberdayakan secara maksimal secara personal. Tidak ada yang lebih memuaskan dari semacam itu. Terlebih jika di zona nyaman tersebut bebas dari kompetisi, tidak ada orang lain yang bisa menandingi, atau memang hanya diri sendirilah yang menjadi otoritas tunggal tanpa perlu dipertanyakan kembali.
Enak? Banget. Mau jungkir balik kayak apa kek nggak ada yang bisa melarang, membatasi atau mengkritik. Meski demikian, tanpa disadari atau tidak sebuah zona nyaman punya banyak kekurangan. Pertama, ia membatasi perkembangan bahkan membuat kemajuan menjadi terhambat. Orang yang masuk ke dalam zona nyaman tidak akan mempedulikan apa yang ada di luar. Saking asyiknya, ketika tau-tau di luar sudah banyak perubahan maka ia cenderung menjadi defensif dan mempertebal eksistensi di dalam kenyamanan. Kedua, zona nyaman bukan saja membuat orang menjadi berpuas diri, tetapi juga menutup segala kemungkinan yang lebih baik. Namanya saja sudah enak, ya ngapain juga harus cari yang lain? demikian pikirnya.
Oleh karena itu banyak pendapat yang mengatakan untuk bisa keluar dari zona nyaman. Mencari sesuatu yang baru, mencoba yang belum pernah, bahkan berhadapan dengan segala hal yang asing, belum diketahui dan nggak jelas peruntukannya. Pendapat semacam itu bisa benar, bisa juga salah. Benar karena orang memang sewajarnya berkembang. Nggak melulu harus berada di dalam gua. Harus bisa mencari tau dunia luar. Harus dapat mencecap kemajuan. Harus mampu menyerap apa yang ada dan menyesuaikan diri. Akan tetapi bisa juga salah, karena tidak semua orang punya keberanian semacam itu. Tidak semua orang mau memulai dari sesuatu yang asing, tidak dikenal atau berbeda sama sekali dengan apa yang sudah ia kuasai, kendalikan dan nikmati. Tidak semua orang punya nyali untuk berpindah, berubah dan bermutasi dalam ruang dan waktu yang sangat cepat.
Bayangkan saja orang yang hidupnya di situ-situ aja. Nggak pernah kemana-mana, bahkan nggak ngerti kalo ada orang atau komunitas lain yang berbeda. Melihatnya saja sudah enggan. Ini bukan karena nggak mau, tapi sebenarnya gegara sungkan males paham. Maka orang seperti ini selalu kembali ke habitat asal. Sudah merasa nyaman dan menguasai, jadi buat apa melongok dunia di luar sana. Lantas, kalo sudah begitu harus apa? Tentu saja bukan berpindah zona nyaman melainkan memperluasnya. Merengkuh segala hal baru, perkembangan terkini, situasi terakhir dan juga adaptasi mutakhir dengan cara yang ia pahami. Mengembangkan diri berbasis dengan kemampuan yang ia miliki. Memperluas lingkup sosial dengan kapasitas yang ia punya. Memperluas zona nyaman artinya membawa semua perubahan itu ke dalam persepsi yang ia bisa maknai, ketimbang berpindah masuk dalam situasi yang tidak ia mengerti. Jadi kalo dulunya cuma maen dalam satu komunitas, ya perluas hingga komunitas itu juga membesar hingga tanpa sadar menjangkau komunitas lain. Jika dulu hanya menguasai satu bidang, perluas bidang yang dikuasai secara maksimal. jika dulu berasa enak dan nyaman, maka perbesar kenyamanan itu dengan menjangkau lebih banyak. Dengan memperluas zona nyaman, maka potensi untuk mnegembangkan diri tetap ada sekaligus meminimalisasi resiko terutama buat mereka yang takut dengan sesuatu yang bukan saja baru tetapi asing.
“It’s not about getting out of your comfort zone to reach your goal. It's about widening your comfort zone so far that your goal fits comfortably inside. Once you do that, hitting your goals will be like hitting 3s for Steph Curry.” ~Richie Norton
Memperluas zona nyaman adalah juga jawaban terhadap kebingungan ketika orang dipertanyakan, kok lu gitu-gitu doang? Harus diakui bahwa hambatan terbesar dalam sebuah zona nyaman bukan perkembangan yang terbatas atau berpuas diri, namun orang menjadi tidak tau kapan harus berubah. Dengan memperluas zona nyaman secara terus menerus, maka manusia ditantang untuk terus melakukan perubahan hingga jangkauan maksimal dalam batas-bata yang ia tau. Bagaimana jika ingin masuk ke dalam sebuah konteks yang ia tidak pahami? Perlukah berganti ruang? Jelas tidak. Pengetahuan, pengalaman dan kebiasaan yang sudah dimiliki, dapat juga diaplikasikan kepada hal baru tersebut. Malah bisa jadi akan ada hal baru yang temukan karena persepsi yang digunakan adalah tidak sama dengan orang lain atau kebanyakan pada umumnya.
Memperluas zona nyaman adalah memperhitungkan resiko yang sudah pasti akan dihadapi. Ini berbeda dengan berpindah zona nyaman yang seringkali resiko tidak dapat diketahui sehingga tidak dapat pula dikalkulasi. Padahal orang menjadi takut untuk keluar atau berpindah ya gegara resiko-resiko yang tidak diketahui semacam ini. Resiko terebut bisa saja berupa pengorbanan soal ruang, waktu, pikiran, tenaga, ketrampilan, pembelajaran, bahkan uang. Pengen sesuatu yang baru tapi ogah keluar duit, ya ujungnya cuma mingkem aja tarik selimut kan?
Jadi sebuah zona nyaman adalah mutlak, memperluasnya adalah keharusan. Bayangkan jika zona nyaman dikuasai dan dinikmati secara sempit. Ya nggak bakal kemana-mana. Muter-muter disitu aja. jangankan disuruh keluar, diminta memperluas aja nggak kebayang. Sebab hidup baginya cuma berada dalam satu tataran linier sambil menungguh keajaiban. Ya kagak bakal kejadian. Ogah berubah, enggan berhitung soal resiko. Paling tau-tau dah mati aja. Kan kasian.