Punya impian itu menyenangkan. Apa sih yang nggak bikin girang ketika membayangkan diri bukan saja punya kelebihan secara fisik tapi juga materi? Berasa keren, ganteng cantik, kece, bikin orang terpana, disukai banyak lawan jenis, menggaet siapa yang disuka, hingga setiap langkah jadi mempesona. Terlebih jika di dalam kantong celana isinya bukan kelamin besar saja tapi ada juga dompet tebal bikin siapa yang mendekat jadi senang, bisa traktir ini itu, jajanin sana sini, bagi-bagi tanpa perlu diminta, ada duit tak kunjung habis, beli apa saja yang diinginkan dengan modal tunjuk telunjuk, punya segala macem harta benda, pangkat dan jabatan tinggi, pokok segala urusan duniawi sudah ada di dalam genggaman. Asyik kan?
Tapi sekali lagi, itu mimpi. Sebab realitas jauh lebih keras, kejam, dingin dan kaku ketimbang mimpi yang meninabobokan. Untuk bisa meraih mimpi ternyata tidak segampang rebahan. Harus ada kerja keras, mikir panjang, bersiasat dan berstrategi, mengeksekusi, kalo gagal coba lagi, kalo belum bisa ya dipelajari, kalo salah dibuat lebih bener, kalo keliru diperbaiki, kalo bengkok dilurusi. Berat? Ya memang gitu. Maka nggak heran jika sebagian orang mau bersusah payah menempuh jalan terjal, menanjak dan berliku untuk meraih mimpi. Ada juga yang tinggal dibawa tiduran tarik selimut, kemudian sesekali mencoba walau cuma basa-basi.
Buat yang hanya sekedar berkhayal, mungkin itu bisa menyenangkan. Tapi jika keterusan jelas bahaya. Sebab mimpi di siang bolong memang bisa bikin mabuk tanpa harus minum ciu. Itulah yang disebut dengan maladaptive daydreaming. Secara terus menerus hidup di dalam mimpi sehingga lambat laun lepas dari kenyataan. Bermimpi di siang bolong macem begini nggak perlu selalu rebahan. Ada juga yang sambil hidup berjalan. Membayangkan sebuah sesuksesan, penaklukan, penguasaan, atau kepemilikan tapi nyatanya itu belum ada di genggaman. Atau lebih parah lagi, cuma sekedar nebeng atau titipan. Semisal orang yang merasa sudah bisa menyatukan negara atau dunia, padahal sehari-hari realitasnya jauh dari posisi yang mampu melakukan itu. Bermimpi bisa melakukan negosiasi dan konsolidasi sebuah perusahaan, padahal sehari-hari ya karyawan kontrak. Atau berpikir sudah bisa menyelesaikan masalah konflik dan proyek kemanusiaan, padahal ya cuma ngetik aja dari balik laptop busuk sambil cekikikan.
Jadi bermimpi mengawang pun bukan cuma sekedar imajinasi tingkat tinggi. Bermimpi bisa dilakukan secara struktur dan sistematis dalam tataran pikiran konseptual yang seolah sudah memberikan hasil. Apa hasilnya? Perasaan puas dan kemudian mau melakukan lagi. Itu ketagihan namanya. Kalo ditanya solusi ya belum tentu ada. jadi mengulang mimpi secara repetitif, kontinyu dan sistematis itu enak. Apalagi jika dilakukan bersama-sama. Sesama pemimpi nggak boleh saling mendahului kan? Ntar bisa ribut karena klaim mimpi masing-masing yang sudah di tangan.
“The cost of oblivious daydreaming was always this moment of return.”~Ian McEwan
Fenomena semacam itu memperjelas kenyataan bahwa maladaptive daydreaming atau dalam bahasa gaulnya adalah halu, tidaklah dilakukan hanya oleh orang-orang yang secara spontan, tetapi juga bisa terukur dan terarah. Itulah hebatnya sebuah mimpi siang bolong. Dalam konteks ini bisa menggerakkan satu orang atau lebih untuk tetap terus bermimpi, berputar melingkar hingga kemudian mencapai anti klimaks masing-masing yakni dibentur kembali lagi dengan kenyataan hidup. Maka halu adalah buang waktu yang menyenangkan. Tidak sedikit yang sebenarnya sadar tapi tetap lanjut supaya bisa mimpinya basah. Ada kepuasan yang tentunya tidak bisa dibayangkan oleh orang lain. Gimana nggak enak, pencapaian sudah berasa di tangan dan dibenarnya juga oleh sesama pemimpi.
Jadi halu akan mengeras menjadi kronis dan akut karena si pemimpi tau betul bahwa sebuah kenyataan itu pahit, menyakitkan sekaligus melelahkan. Jadi cukuplah naik kereta sirkus kehidupan bareng-bareng tanpa perlu beli karcis, jadi pemain figuran, tapi bisa enak bermimpi basah rame-rame. Ogah turun karena keseharian sudah pahit. Gimana tidak? mikirin hidup, tagihan, cicilan, tunggakan sampe sesak sementara bayaran tetap nggak sebanding dengan pengeluaran. Belum lagi emang muka pas-pasan tapi kelakuan juga minus nggak ada tandingan. Bermimpi adalah solusi yang pas jika dilakukan secara intensif, intensional, massif dan menutupi kenyataan. Dengan tanpa terputus, maka mimpi bisa dianggap menggeser getirnya sehari-hari dengan bermanis-manis imajiner.
Padahal bermimpi awalnya adalah sebuah dorongan atau motivasi agar orang bisa terpancing untuk merealisasikannya. Tapi banyak juga yang terjebak dengan memperpanjang mimpi agar hasil seolah sudah ditangan meski cuma tataran skema atau konseptual. Tidaklah mengherankan jika upaya-upaya untuk membuat orang terjaga dari tidur panjang dalam hidup sosial itu amatlah mengecewakan. Bayangkan, dalam kondisi tidur fisik aja kalo disiram air pasti ngamuklah, apalagi tidur psikis dalam rutinitas sehari-hari. Makan minum normal tapi pikiran sudah mengawang terlalu tinggi. Dari sekedar pemimpi siang bolong malah jadi Megaloman. Halu pun berubah jadi nggak tau malu. Terus aja begitu.