Orang bilang takdir nggak bisa diubah, nasib bisa dinegosiasi. Pepatah itu ada benarnya. takdir seperti lahir dan mati memang sudah dari sononya begitu. Kita tidak bisa memilih dimana dan seperti apa kondisi ketika lahir. Demikian pula dengan kematian; nggak ada yang tau kapan dan bagaimana ajal tiba. Ada yang bisa mati tenang di tempat tidur karena udah usia tua, ada pula yang sehabis nyimeng ditabrak bajaj sampe putus kepala. Maka yang bisa diubah adalah bagaimana setalah lahir dan sebelum mati.
Mengubah nasib tentunya nggak cukup dengan kerja keras, banting tulang, puter otak, keuar keringet bahkan nangis darah. Ada yang merutuk menyesal kenapa hidup kok gini-gini amat setelah berpayah-payah, ada pula yang ikut-ikutan bete padahal seumur hidup juga nggak ngapa-ngapain. Lantas harus gimana? Sudah banyak orang dengan segala motivasi, kata mutiara, pantun dan nasehat untuk bisa mengubah nasib menjadi lebih baik. Akan tetapi kenapa ya gitu-gitu aja?
Pikiran bisa menipu, perasaan bisa merayu, akan tetapi insting tidak pernah bohong.
Sebab hal yang harus dilakukan sebelum mengisi hidup adalah dengan membangun kesadaran untuk mencintai diri terlebih dahulu. Ini bukan soal bagaimana mengamini, mengiyakan dan memaklumi kondisi yang ada, tetapi justru mempercayai bahwa sebelum ada pikiran dan perasaan yang digunakan maka ada insting yang harus digunakan? Insting? Iya insting. Naluri untuk bisa mengendus bahwa apa yang dilakukan itu sudah tepat atau belum. Masalahnya, pikiran dan perasaan kerap menghapus dan menutup insting sebagai bekal awal manusia sebagai makhluk hidup. Pikiran memang melatih untuk menggunakan kesadaran penuh dalam mengambil keputusan. Perasaan juga digunakan untuk menimbang berkaitan dengan empati. Pikiran bisa menipu, perasaan bisa merayu, akan tetapi insting tidak pernah bohong. Jika orang menghadapi sesuatu dengan ragu, maka sebenarnya insting sedang bekerja. Akan tetapi pertimbangan logis bahkan harapan selalu datang dari akal dan perasaan. Tau-tau zonk. Nah, mau nyalahin siapa?
Insting memberi pertanda awal yang muncul sebagai self-defence mechanism. Maka dengan insting orang menjadi punya tanda untuk menarik garis, menjauh, bahkan juga menolak apa yang datang di dalam dunia rimba modernitas semacam ini. Dengan insting biasanya orang sudah memahami bahwa ada sesuatu yang salah atau tidak benar, namun akal kerap memberi pembenaran atau justifikasi "nggak ada salahnya dicoba" atau perasaan dengan "siapa tahu bisa". Dengan menarik garis, menjauh atau menolak karena ada tanda bahwa yang dihadapi adalah tidak benar maka sebenarnya diri seseorang mampu menjaga dari kemungkinan-kemungkinan yang baru muncul kemudian. Sebab pada titik itu, akal dan perasaan sudah sama sekali lepas tangan. "Padahal udah tau nggak bisa kok masih dijalanin" atau lebih singkatnya dengan satu kata, "kannnn".
Tapi itulah manusia. Sudah ada akal, perasaan, insting, tapi masih tetep aja bego. Ujungnya dengan keruwetan yang terjadi maka orang akan menyalahkan diri sendiri, trauma dan baru kemudian menyalahkan orang lain. Baru kemudian terkapok-kapok sambil menyalahkan Tuhan. Padahal sudah jelas bahwa mengisi hidup adalah dengan negosiasi sambil menggunakan ketiga perangkat yang sudah ada tadi. Negosiasi menempatkan diri untuk tidak takut, tidak berusaha memuaskan orang lain, menjadi diri sendiri dan mengambil keputusan-keputusan serumit apapun dengan cara yang sesederhana mungkin yakni self-care. Jaga diri baek-baek. Kalo bisa jalanin, enggak ya lewat. Nggak usah sok-sokan serba bisa atau malah sebaliknya berlagak pilon kagak ngapa-ngapain biar jadi beban orang. Terus masih mau nyalahin siapa lagi jadinya?