Dalam bulan-bulan terakhir ini ada dua pemberitaan yang cukup menarik di media yakni tertangkapnya para kolektor kakap tosan aji karena kasus korupsi dan sejenisnya. Ada seorang aparat perwira tinggi yang sering jadi konsumen para penjual keris, ada juga pejabat badan usaha milik negara yang bahkan memodali untuk bikin pameran, bikin keris dan sebagainya. Tampilan barang koleksi mereka sudah pasti sangat wah dan bikin berdecak kagum. Bagus-baguslah pastinya dengan hiasan emas perak intan permata. Tapi dengan kejadian itu, sedikit orang yang berpikir; untuk apa sih sebenarnya pencapaian semacam itu jika kemudian berujung kepada jeruji penjara? Mengapa orang menjadi tergiur untuk menjadi punya yang terbaik, terbagus sekaligus terbanyak dalam mengoleksi? Apalagi jika ternyata apa yang dipunya bukan pake duit sendiri.
Pertama, sebagaimana hobi lainnya maka tosan aji adalah sebuah pembelajaran. Jadi tau mana bahan yang bagus mana yang standar, jadi tau proses pembuatan, jadi ngerti soal teknik metalurgi, jadi punya jaringan sosial dengan pengrajin, jadi paham karakteristik atau gaya pembuatan, jadi paham soal budaya dan nilai sosial dibalik itu semua dan seterusnya. Sampai di sini, banyak juga yang tersesat nyasar; cuma mau melihat dari sisi mistik bahkan kleniknya saja. Dianggap lebih menggiurkan tanpa keluar duit banyak padahal jadi boros kalo nggak paham. Selanjutnya tosan aji adalah sebuah perjalanan. Jika sudah ngerti soal keindahan, teknik dan karakteristik maka perlu juga melihat bagaimana secara sosial ekonomi hobi ini bergerak. Ada pembuat, penjual dan pembeli. Ada transaksi dan ada juga non transaksional. Namanya hobi juga butuh modal kan pastinya? Maka perjalanan adalah melihat, menyelami dan kemudian bisa mengidentifikasi mana-mana saja yang menjadi prioritas dalam koleksi. Sampai di sini juga, banyak yang kejeblos. Menyangka bahwa semua yang indah bagus keren itu layak dikumpulkan secara maksimal. Terjebak kepada benda dan memberi simbol secara subyektif. Nggak soal jika pake duit sendiri. Nah, biaya yang mahal itu justru pake duit panas. Repot kan jadinya?
Kedua, dengan pembelajaran dan perjalanan yang diabaikan maka tidak mengherankan jika sebagian orang yang tergiur atau tergoda itu menjadi delusional untuk kemudian memperlakukan hobi sebagai sekedar akumulasi benda, bukan pembentukan karakter. Padahal dengan hobi, idealnya orang bisa mengasah diri untuk bisa lebih memilah, lebih obyektif memahami situasi, lebih mampu menyeleksi mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Mengagumi keindahan tidak ada batasnya, tapi memiliki keindahan itu sudah pasti terbatas. Buat mereka yang punya peluang dengan modal personal sudah pasti nggak masalah.
Tapi ini jaman modern lho. Ada batas di mana segala transaksi bisa terlihat dengan jelas. Ada ruang di mana fungsi sosial politik bisa terdeteksi dengan baik. Jika dulu para raja bisa dengan mudah memerintahkan ini itu, sudah pasti ada batas dan ruang yang masih sangat luas. Kelas lain punya sendiri-sendiri. Ibarat kalo dulu orang tau mana keris buat pedagang atau pebisnis, mana keris buat simbol kuasa para raja. Pedagang atau pebisnis identik dengan uang, raja identik dengan kuasa. Sekarang? para penguasa yang tampil bak raja justru mau kayak dulu. Berkuasa sekaligus mau kaya, tapi pake duit orang lain. Mereka lupa bahwa kuasa juga punya konsekuensi terjungkal dan kaya bisa bersiko bangkrut. Udah terjungkal, bangkrut pula. kan nggak enak.
"You can’t have everything you want, but you can have the things that really matter to you." ~Marissa Mayer
Maka daripada meromantisasi hobi dengan segala kuasa dan daya kapital yang bisa bikin diri terjeblos nggak karuan, bukankah lebih baik kembali kepada hakekat hobi itu sendiri? Sebagai pembelajaran dan perjalanan. Hobi berupa tosan aji, tentu berguna sebagai untuk menambah pengetahuan sekaligus membentuk karakter. Semua bermula dari kaki sendiri yang polos, tanpa minjem sepatu orang lain. Kalo minejm dan kesempitan atau kegedean, bisa kesandung ntar.