Seorang mahasiswa, relatif muda dengan usia baru masuki dua puluh tahunan mengeluh di media sosial. Konon ia puyeng gegara memasuki dunia perkuliahan yang ternyata banyak tugas. Saking banyaknya, menudut dia jadi tidak ada waktu untuk healing dan self reward. Sampai-sampai mau cuti kuliah demi mental health, meski tidak diperbolehkan oleh orang tua. Ia takut jika memaksakan diri, maka IPK tambah anjlok.
Sekurangnya tiga istilah baru yakni healing, self reward dan mental health itu jadi kecenderungan yang muncul di masa sekarang. Masa penuh pandemi, krisis ekonomi akut hingga gagap sosial lantaran udah lama nggak ketemu orang. Pertanyaan kritis, sebegitu rapuhnya sebuah generasi sehingga urusan mental jadi persoalan penting ketika menghadapi day to day problems? Ini tahun dua ribuan lho. Tahun 1800-an saat Revolusi Industri, orang bekerja 16 jam sehari sebelum akhirnya menjadi delapan jam. Pekerja tidak hanya orang tua tetapi juga hingga anak-anak. Istirahat hanya pada hari Minggu dengan pergi ke gereja dan numpang tidur. Maka tidak heran jika Karl Marx menyitir, agama adalah candu. Maksudnya, beribadah pada hari itu adalah bentuk eskapisme terhadap rutinitas 96 jam kerja selama enam hari sebelumnya. Tahun 1900-an, ada banyak perang mulai dari Perang Dunia Ke-1, Ke-2, Perang Korea, Perang Vietnam dan lainnya. Tidak saja orang tua, tetapi justru anak muda menjadi tulang punggung peperangan. Banyak cerita tentang mereka yang pada usia duapuluhan bahkan belasan tahun menjadi perwira, memimpin pasukan, bahkan mengorbankan nyawa di berbagai teater peperangan seperti di Eropa, Asia bahkan Afrika.
Singkatnya, dalam beberapa ratus tahun terakhir saja, peradaban yang katanya keras dan penuh konflik itu ternyata dapat membuat seorang bocah menjadi sangat dewasa. Itu baru soal krisis sosial ekonomi. belum lagi wabah yang setiap seratus tahun sekali muncul seperti Black Death, Flu Spanyol hingga Covid sekarang. Lantas siapa bilang konflik, krisis atau perang hanya berdampak negatif berupa trauma dan pengurangan populasi? Positifnya adalah pertama, adanya perkembangan teknologi. Orang harus melakukan inovasi dalam berbagai hal agar perang cepat usai. Entah senjata yang lebih canggih, distribusi pangan yang memadai, hingga makanan yang bisa tahan segala cuaca. Sebab makan aja susah, bung. Kedua, secara psikologis, dampak perang yang merusak mengajarkan agar generasi selanjutnya bisa lebih menghargai hidup, menikmati kebebasan dan juga kenyamanan.
Kemudian, apakah dengan demikian pada saat ini kita jadi sangat menginginkan kenyamanan, oleh karena bebas sehingga hidup jadi sedemikian rapuh? Apa karena sudah lama kita tidak pernah menghadapi konflik, krisis atau perang dalam skala besar? Bisa jadi karena kenyamanan itu, maka kita memberi prioritas berlebih agar tidak lagi merasa dibebani. Setiap keresahan dianggap sebagai sebuah penyakit atau gangguan yang bersifat destruktif. Maka orang merasa tidak boleh resah, tidak boleh ada beban, tidak boleh ada hal-hal yang dapat menjadi pikiran. Alih-alih dibebani, maka hidup harus dihargai. Bagaimana caranya? beryoga atau meditasi, makan sehat, bebas alkohol, anti rokok, menolak daging, lingkungan harus tenang, bersih, pikiran harus dipelihara, apa-apa tinggal pesan nggak usah bikin, semua segala kebaikan dan nggak boleh yang berat-beratlah nanti bisa merusak mental. Mimikri dan replika adalah kata kunci untuk kenyamanan palsu yang dianggap bisa melepas diri dari dunia yyan
Meski argumen yang muncul adalah "beda zaman, beda generasi", tapi dengan perlakuan semacam itu menunjukkan bahwa selain jiwa atau mental yang rapuh dan pikiran yang naif, semakin lama orang menjadi semakin memberi prioritas kepada kenyamanan semu. Bayangkan seandaikan ada invasi besar-besaran, perang yang tidak lagi dengan senjata seperti di abad ke-20 melainkan dengan tekan tombol nuklir, atau ada krisis dimana wabah dan kelaparan terjadi, atau bencana alam yang meluluh lantak semua yang ada. Terus mau bilang apa? Masa iya mau tutup kunci pintu dan menangis lirih sambil berkata,"aku tersinggung". Kita bisa punah jadinya. Ini generasi hilang. Tapi beda ya dengan lost generation para buyut semasa Perang Dunia Ke-1. Kalo ini bakalan hilang ditelan milenia.