Ada peribahasa mengatakan begini; semakin tinggi pohon, maka akan semakin diterpa angin yang lebih kencang. Ungkapan semacam itu ada benarnya. Jika seseorang memiliki reputasi yang semakin membesar, maka ia akan dikenal pula oleh semakin banyak orang berikut pujian dan hujatan. Hal semacam itu wajar. Malah dengan semakin banyak pujian atau hujatan itu menandakan beberapa hal. Pertama, orang tersebut diperhitungkan oleh yang lain. Mereka sempat-sempatnya meluangkan waktu, pikiran dan upaya untuk menyanjung dan menghina. Kedua, ada yang merasa tersinggung? Nggak lebih dari mereka yang merasa kurang beruntung dan cuma bisa ngedumel di pinggiran. Kalo kata anak sekarang, iri bilang boskuh.
Jadi soal itu memang bukan barang aneh. Terlebih dalam dunia media sosial ketika apresiasi dan cacian itu sudah barang biasa sebagai sebuah bentuk ekspresi dengan tujuan-tujuan tertentu. Pujian itu kayak minyak, bikin jadi licin dan termotivasi untuk lebih bergerak. Hinaan itu macam amplas, membuat mengkilat dan tampil menarik. Orang pasti akan tergerak untuk ngomong apa aja. Terus mau diseriusin gitu? Tanpa disadari, baik pujian atau cacian itu keduanya dibutuhkan agar ketika orang ada di panggung tertentu bisa mendapat lebih banyak perhatian. Atensi jadi penting sebagai pengukur sejauh mana kerja yang dilakukan itu punya dampak terhadap orang lain. Lah, ketimbang dicuekin kan? Itulah sebabnya disukai orang adalah hal biasa. Tidak disukai atau dibenci, berarti jadi sesuatu buat mereka yang antipati. Sampe dipikirin gitu lho.
Justru yang aneh itu justru kalau mau melakukan sesuatu untuk orang banyak tapi ogah tampil. Merasa sudah cukup jadi mastermind, padahal ya cuma main di tataran konseptual. Berpikir sudah bisa memberikan yang terbaik tapi tercerabut dan nggak paham pokok persoalan yang ada. Menyangka bahwa solusi bisa diberikan dengan sejumput teori, tapi praktek pun dalam level paling mendasar seperti meneliti pun tidak dilakukan. Delusi semacam ini sebenarnya pas dengan analogi perumpamaan di awal. Ingin menjadi pohon yang menjulang tapi mentalitasnya sebatas rumput. Pastinya akan menggelikan sebab mau dianggap punya karya besar, tapi kok maennya cuma sebatas itu-itu aja tanpa melebar kemana-mana. Mau jadi besar, tapi nggak mau kelihatan dan berproses. Ya tarik selimut aja kalo gitu.
"I've been hated by many, wanted by plenty, disliked by some, but confronted by none." ~Drake
Meski aneh, tapi fenomena semacam ini sudah biasa terlihat dimana-mana. Ini nggak ada hubungannya dengan soal introvert segala. Ini masalah inferior dan minder yang tanpa sadar dipelihara, padahal yang bersangkutan sadar memang enggan atau nggak bisa berbuat banyak. Untuk bisa diakui banyak orang, harus ada kemampuan atau skill, membangun portofolio, sederet pengalaman yang semuanya tidak dapat diperoleh dalam satu malam. Sejumlah penolakan, penundaan, bahkan pembatalan harus siap ditelan. Ketika hal itu mulai menggunung maka reputasi dengan sendirinya menyusul. Sialnya, mereka yang minderan ini justru berharap instan dengan membangun reputasi yang sebenarnya rapuh, mudah berubah dan datang dari luar. Karakter dan kapasitas personal sama sekali nggak disentuh. Maka jadilah entah sebuah proyek, program, target, tujuan yang sama sekali nggak punya arah, tergantung angin berhembus. Begitu kena hajar angin, langsung kicep.
Idealnya sebatang pohon karakter yang kuat harus sanggup menghadapi angin yang mendorong dari belakang atau menerjang dari depan tanpa menjadi patah. Istilahnya, mau diapain juga ya hadapin aja sambil tertawa, tapi tertawa mikir untuk strategi dan langkah berikutnya. Bukan cuma tertawa nyengir nggak tau harus ngapain. Itu beda. Untuk menjadi pohon seperti itu ya mulai dari kecil dulu, dipupukin sampe beneran kuat menjulang dan bisa menghasilkan buah untuk kegunaan orang lain. Mau jadi begitu? Ya tinggalkan mentalitas rumput; sudah pendek, kecil, beramai-ramai pula. Sebab seutas rumput lebih nggak berarti apa-apa. Kalo banyak juga bisa jadi tempat tokai kucing.
Tapi kalo mau jadi rumput ya sudahlah, nggak ada juga yang melarang kan? Tinggal nonton diam-diam dari pinggiran lihat pohon bertambah tinggi. Asal nggak jadi benalu aje, cuma numpang hidup, numpang makan, numpang tenar di atas pohon. Inget umur. Ntar masuk angin lho.