Disinilah acapkali persoalan yang sebenarnya muncul. Pertama, desakan ekonomi tanpa kemampuan di bidang lain membuat profesi penempa logam jaman dahulu yang memiliki harkat tersendiri mulai meluntur. Pembuatan mata bajak, cangkul atau pisau kian dikalahkan oleh industri yang jauh lebih mekanis, lebih besar dan bisa diimpor dengan murah. Pasar untuk buatan tangan tetap ada tetapi jauh lebih kecil dibandingkan kebutuhan yang dipenuhi oleh industri tersebut. Kedua, Benda-benda klenik punya pasar tersendiri meski dengan harga yang sangat subyektif. Beberapa pengrajin logam memenuhi kebutuhan ini untuk membuat keris jejimatan yang mengambil bentuk keris dengan harga sangat murah, tapi jelas tidak memenuhi kaidah atau standar keris baik dari bentuk maupun kualitasnya. Keris jejimatan inilah yang oleh para perantara seperti dukun kelak dijual dengan harga sangat mahal. Ketiga, para pengrajin logam yang bertahan dengan membuat keris secara benar-benar akhirnya harus berhadapan juga dengan hukum permintaan dan penawaran. Kualitas pembuatan yang sangat bagus kerap harus bergantung kepada pilihan-pilihan seperti ongkos produksi yang tidak seimbang dengan harga yang diinginkan konsumen, atau lebih buruk lagi berhadapan dengan tengkulak yang memesan dengan pembayaran di awal sangat murah. Hal seperti ini menjadi dilema bagi para pengrajin antara kualitas produksi karya dengan value atau nilai yang terus dipaksa menurun.
Bagaimana dengan pengrajin kayu dan perhiasan yang menjadi bagian dari mata rantai pembuatankeris? Kesulitan yang dialami dengan proses yang terputus oleh sejarah dan perubahan sosial ekonomi politik juga berimbas kepada mereka. Dengan berkurangnya pembuat keris, maka tidak mudah bagi pengrajin kayu untuk mempertahankan keahlian di dalam membuat pegangan dan sarung keris dengan mengikuti kualitas yang sama. Selain masalah jumlah dan mutu bahan baku yang juga semakin menurun, kemampuan produksi benda secara berkualitas juga berbanding lurus dengan usia para pembuatnya. Misalnya saja, di Jogja hanya tinggal satu orang yang membuat warangka atau sarung keris secara manual dengan bor tangan yang kualitas sarungnya dapat mengunci bilah secara sempurna agar tidak terjatuh. Sementara di Tampak Siring hanya ada dua orang yang terkenal membuat danganan atau pegangan keris yang tidak saja indah enak dipandang tetapi sesuai dengan kaidah dan bersifat ergonomis alias enak dipegang. Kebanyakan profesi tersebut dianggap tidak menjanjikan penghasilan secara maksimal dan rutin sehingga mereka yang melanjutkan biasanya orang yang belajar kepada para pengrajin tersebut dan belum tentu keturunannya secara langsung.
Persoalan tersebut kian kompleks dengan bagaimana kemampuan para pengrajin untuk bertahan. Dengan hadirnya paratengkulak, kualitas dan mutu bahan baku yang menurun, kebutuhan ekonomi dan pasar yang terbatas membuat pengrajin harus memikirkan kebutuhan-kebutuhan sesaatnya agar dapat diperoleh. Beberapa masalah yang muncul adalah ketika mereka mendapatkan pesanan dengan uang muka yang harus diputar dahulu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau menerima pesanan sebanyak-banyaknya tanpa mengukur kemampuan produksi yang berimbang. Disinilah komersialisasi yang dahulu tidak dikenal, mulai bermunculan dan sejalan dengan prinsip pasar modern. Keris yang bermutu dan baik hanya dapat diperoleh dengan sejumlah besar uang yang meski tidak sebanding dengan tanah atau hewan sebagai pembiayaan di jaman dahulu tapi mampu mendapatkan apa yang konsumen inginkan.
Faktor lain yang juga marak bermunculan dengan prinsip pasar modern adalah para pencari, pemburu dan pedagang keris. Para pencari dan pemburu keris biasanya menyusuri desa-desa untuk mendapatkan keris yang kualitasnya cukup bagus. Seorang pemburu keris pernah mengatakan bahwa dari sepuluh buah keris yang didapat bisa jadi ada satu atau dua yang bermutu baik. Sementara para pedagang keris adalah berperan sebagai perantara antara pembuat keris dengan konsumen yang biasanya ingin praktis hanya dengan proses membeli. Para pedagang ini ada juga yang sekaligus sebagai pemburu, pengumpul atau pemesan keris. Mereka punya andil dalam membuat keris menjadi punya pasar permintaan yang lebih luas sekaligus juga menentukan kategori yang kini semakin di kenal dalam perkerisan Indonesia yakni keris kuno dan keris baru yang disebut Kamardikan atau keris yang diproduksi setelah Indonesia merdeka.
Kedua definisi tersebut bisa jadi sebenarnya merupakan kategori yang dibuat pada masa sekarangberdasarkan permintaan pasar karena pada hakekatnya sangat sulit untuk menentukan tangguh atau era kapan keris itu dibuat. Satu-satunya cara yang definitif menentukan usia adalah dengan mengadakan uji materi di laboratorium, akan tetapi hal tersebut tidak disukai karena akan menggunakan serpihan keris sebagai bahan uji. Selain itu, metode untuk menentukan tangguh atau era kapan keris itu dibuat umumnya menggunakan metode logika induktif dengan mengumpulkan contoh sebanyak-banyaknya untuk dapat mengatakan keris dengan ciri yang sama adalah memiliki probabilitas yang semakin besar adalah buatan era tertentu. Ciri tersebut baik dari format, penampakan, permukaan, bahan baku yang teraba, berat dan sejenisnya. Dengan metode demikian maka sebuah keris tidak dapat dipastikan secara definitif dan deduktif bahwa ia berasal dari jaman A atau B. Berbagai catatan yang diwariskan bertahun-tahun mengenai tangguh keris menggunakan metode induktif seperti ini dan membuka peluang untuk perdebatan yang tak kunjung selesai. Terlebih dengan adanya pembuatan keris putran atau meniru keris dari tangguh tertentuyang dibuat pada masa sesudahnya. Keris putran yang dibuat dengan sangat baik misalnya diproduksi pada masa sekarang dengan meniru misalnya keris tangguh Majapahit,maka akan dapat menipu mata orang yang melihat dan dengan mudah orang tersebut akan mengambil kesimpulan bahwa keris tersebut adalah keris yang dibuat atau memiliki tangguh Majapahit. Jika orang tersebut mengetahuiyang sebenarnya maka ia akan merasa malu dan merasa tertipu apalagi jika sudah membelinya dengan harga mahal (Jawa: keblondrok).
Lantas mengapa tangguh menjadi penting? Jika melihat paragraf sebelumnya, maka jelas tangguh menjadi pentingkarena aspek harga, trend dan kebutuhan konsumen. Harga sangatmenentukan di era pasar modern karena ada persepsi bahwa keris kuno atau yang dibuat pada era kerajaan sebelum Republik Indonesia memiliki kualitas baik materi maupun non materi yang lebih baik dibandingkan dengan buatan masa sekarang. Persepsi seperti ini menegaskan bahwa selain bilah maka tuah juga penting dalam keris kuno dibandingkan keris buatan sekarang yang diproduksi hanya untuk kebutuhan pasar tanpa nilai mistik.
Persepsi tersebut tidak ada salahnya namun cenderung menggeneralisasi secara sepihak. Pertama, jikabicara aspek material maka seberapa lama sebilah keris dapat bertahan? Keris tangguh Singosari yang berusia seribu tahun pun kini hanya beberapa yang masih utuh dan lainnya sudah mulai hancur. Padahal keris buatan jaman sekarang pun juga sudah mengalami perbaikan teknik, bahan baku dan kualitas yang tak kalah bagusnya. Jika berbicara aspek ritual, maka di beberapa daerah di Indonesia juga masih memberikan sentuhan aspek non materi terhadap pembuatan keris.
Kedua, aspek trend atau popularitas tangguh tertentu juga berperan dalam kaitannya dengan harga. Seringkali seperti saham, tanaman hias atau batu akik, trend sebuah tangguh juga kerap digoreng terlebih dahulu agar harga membumbung tinggi dan kemudian jatuh. Tujuannya jelas adalah memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang sudah mempersiapkan stok keris dagangannya untuk dijual sebelum berganti dengan trend berikutnya.
Ketiga, hal inilah yang kemudian menggiring kebutuhan konsumen terhadap keris. Bagi mereka yangkemampuan ekonomisnya terbatas tapi menginginkan keris yang berkualitas jelas akan menitikberatkan orientasi dan daya beli mereka terhadap keris-keris yang dianggap bertuah dan ampuh. Fisik boleh tidak seberapa tetapi kesaktian sebilah keris menjadi harapan para konsumen jenis ini. Beberapa kolektor dengan tipe konsumen seperti ini akan cenderung membeli cerita dari sebuah keris yang diidamkan misalnya keris yang dapat menghentikan hujan atau keris yang dahulu adalah simpanan raja X. Cerita dianggap jauh lebih penting dan para penjual dengan senang hati akan memenuhi keinginan mereka. Sementara mereka yang memiliki keuangan bagus dan merasa dirinya berselera tentunya menginginkan keris yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Berbeda dengan konsumen yang membeli cerita, maka konsumen seperti ini cenderung membeli konsep. Seorang kolektor seperti ini pernah mengatakan di telpon kepada seorang penjual bahwa ia menginginkan dhapur Jaran Guyang tangguh Majapahit dan berani membayarnya sepuluh juta Rupiah kala itu di awal tahun 2010an jika keris tersebut ada tingil di bagian ganjanya. Si penjual dengan entengnya mengambil salah satu keris putran Majapahitdan menggerinda bagian ganja hingga terbentuk sebuah tingil. Jadi baik yang membeli keris baik karena cerita atau konsep mendapatkan apa yang diinginkan. Tentu saja hal semacam itu bukan sepenuhnya salah penjual karena konsumen juga punya andil dalam proses tersebut. Banyak orang mengatakan bahwa rasa malu dan tertipu tersebut adalah bagian dari pembelajaran tentang keris. Sekali ini konteks ini berlaku dalam pasar modern dengan hukum permintaan dan penawaran yang ada. Hal tersebut berhadapan dengan bagaimana orang berperan sebagai penyedia maupun pembeli.