Membahas bilah kerispada masa sekarang mungkin terlihat sebagai sesuatu yang aneh dan tidak relevan. Pertama, asumsi yang timbul ketika melihat keris adalah sebagai benda klenik. Hal ini tidak terlepas dari beredarnya banyak jimat dalam bentuk keris yang menjadi komoditi bagi para dukun dan para kliennya. Kedua, kontribusi media massa yang menempatkan keris sebagai simbol irasionalitas yang ditampilkan dengan nyala api, bisa terbang dan sejenisnya. Ketiga, konsekuensi dari penempatan keris sebagai benda klenik dan simbol irasionalitas tersebut memberikan pemahaman yang minim dan buruk secara umum di mata publik ketika ruang-ruang pengetahuan kognitif dan ilmiah tersebut masih bersifat terbatas.
Dari tiga poin di atas,dapat dilihat bahwa apa yang terjadi sebenarnya adalah sejarah yang terpenggalketika keris pada jaman dahulu sebagai sebuah karya yang dihasilkan oleh para ahli. Membuat sebilah keris adalah mata rantai yang tak terputus oleh pengrajin tempa logam, pengrajin kayu dan bahkan pengrajin emas permata. Artinya, proses membuat keris merupakan karya yang bukan saja curahan keahlian banyak orang tetapi juga menghidupi banyak orang. Seorang pengrajin tempa logam yang disebut pande di Bali atau mpu di Jawa, membuat bilah keris yang kemudian diteruskan oleh pengrajin kayu yang membuat pegangan dan sarung keris. Jika masih memungkinkan, proses ini dilanjut oleh pengrajin emas permata untuk menghias keris tersebut. Dengan demikian, membuat keris memiliki aspek tidak saja secara sosial budaya tetapi juga ekonomis. Siapakah yang sanggup memesan keris seperti itu pada jaman dahulu? Pertama, adalah kalangan penguasa yang memiliki otoritas dan kesanggupan tertentu untuk membiayai proses pembuatan keris dengan imbalan tanah atau hewan kepada para pengrajin tersebut. Kedua, kelompok pengusaha yang tentu saja memiliki uang untuk hal yang sama. Disinilah lagi-lagi bukan semata aspek ekonomi tetapi juga politik dimana hanya kelas tertentu yang sanggup memesan keris dalam kualitas terbaik sebagai simbol yang diinginkan. Keris sebagai mistik, dalam arti pemaknaan dan penguasaan simbol lahir disini.
Dapat dilihat bahwa pembuatan keris pada jaman dahulu memiliki aspek sosial budaya ekonomi bahkanpolitik. Tentu saja merujuk pada hal tersebut, keris yang baik adalah keris yang berkualitas dari teknis pembuatan yang dimonopoli oleh kelas yang berkuasa dengan tujuan simbolis yang diinginkan. Bagaimana dengan keris di luar itu? Bagaimana pula dengan pembuatan keris pada masa sekarang? Keris di luar sentra kekuasaan pada jaman dahulu jelas memiliki kualitas di bawah keris yang dimiliki oleh para raja, bangsawan dan saudagar kaya karena alasan sosial politik baik berupa pembatasan atau daya cipta dan eksplorasi yang dilakukan di dalam tembok kekuasaan. Meski demikian bukan berarti pembuatan keris di luar sentra kekuasaan tersebut tidak berjalan dan justru membentuk pangsa tersendiri. Permintaan yang tinggi ketika kebutuhan senjata secara fungsional dalam situasi krisis atau perang juga membuat para pengrajin di luar sentra kekuasaan tersebut juga memiliki perannya masing-masing.
Pada masa sekarang terutama setelah Indonesia merdeka, situasi yang dihadapi jelas sangat berubah.Sentra kekuasaan yang dahulu berada di tangan para raja dan bangsawan telah berpindah. Dengan sendirinya kapasitas sosial ekonomi juga turut bergeser. Para pengrajin di dalam tembok kekuasaan yang menjadi favorit mereka dengan menerima pembayaran berupa tanah atau hewan juga mengalami imbas yang sama. Alat tukar yang beralih menjadi mata uang modern, tidak juga dimonopoli oleh para saudagar kaya tradisional. Kemampuan kerja, pendidikan dan perubahan sosial lain membuat kapasitas warga negara kini menjadi kurang lebih sama. Disini dapat kita bayangkan, berapa sesungguhnya nilai sebuah keris yang dahulu dibiayai dengan penukar berupa tanah atau hewan seperti sapi atau kerbau? Mungkin paling tidak bisa ratusan juta Rupiah sekarang. Bandingkan pula dengan keris yang anda bayarkan lewat istilah mahar itu pada masa sekarang? Lima juta? Sepuluh juta? Pertanyaan kritisnya adalah, apakah jauh lebih murah dibandingkan pada saat ini?
Dengan kata lain, di satu sisi ongkos produksi sebuah keris jauh lebih murah pada masa sekarang akantetapi di sisi lain permintaan terhadapnya juga menurun drastis. Keris tidak dibutuhkan lagi sebagai simbol status bukan saja karena bergesernya sentra kekuasaan tetapi juga daya beli yang juga rendah. Meski tidak semua, banyak sentra kekuasaan di jaman dahulu yang kini tidak sanggup lagi membiayai dengan tanah atau hewan. Para saudagar kaya masa sekarang jelas lebih tertarik dengan simbol yang menunjukkan kemewahan secara modern seperti properti atau otomotif dibandingkan keris pada masa sebelumnya. Perubahan-perubahan seperti itu membawa konsekuensi terhadap para pengrajin. Mereka yang dahulu hidup dengan bersandar pada sentra kekuasaan jaman dahulu, kini harus bertarung untuk kelangsungan hidupnya. Para pengrajin yang berada di luar sentra kekuasaan telah terlebih dahulu melakukan survival baik dengan beralih profesi atau memodifikasi keahlian untuk membuat barang-barang yang lebih bernilai fungsi. Tidak mengherankan jika para pembuat keris di masa sekarang merupakan generasi yang tersisa dengan memilih untuk membuat mata bajak, cangkul atau pisau, sementara lainnya sudah meninggalkan profesi tersebut. Kalau pun masih bertahan dengan membuat keris, maka pilihannya entah memenuhi kebutuhan pasar akan benda klenik atau membuat keris secara benar-benar dengan alat tukar mata uang.