Semua orang tidak menyukai kekerasan. Meski demikian tetap saja ada orang yang melakukan, menikmati atau bahkan menjadikannya bagian dari agenda setting. Entah karena sadistis, masokis, atau alasan-alasan lain seperti budaya atau politik. Intinya, meski kekeasan ditolak dan dianggap bukan bagian atau ciri dari masyarakat beradab tapi masih saja terjadi. Semisal ada yang digebuki karena beda pendapat, atau maling tertangkap basah kemudian diarak dan dibakar massa, orang pacaran digeruduk, atau menghina memaki orang lain dan tersebar di media sosial.
Jadi meski saat ini katanya orang Endonesah dikenal ramah, sopan santun, beretika, berbudi luhur, sudah hidup di alam demokrasi, tapi kenapa masih bisa begitu? Pertama, banyak orang yang berat sebelah dengan kekerasan. Jijik dengan urusan pukul memukul sebagai bentuk kekerasan fisik, tapi mengabaikan bentuk kekerasan lain seperti verbal, visual bahkan psikis. Pantang mukul tapi ngebacot tetap saja lancar. Ogah lihat gambar babak belur, tapi penasaran ngelihat korban pelecehan. Belum lagi soal bullying antar kelompok teriak kadrun dan kampret dalam konteks politik. Apa nggak capek? Jadi kekerasan bukanlah soal fisik melulu tapi sudah sejak lama orang Endonesah hampir jarang yang bisa membedakannya.
Kedua, suka atau tidak banyak orang mendapati kekerasan adalah warisan. Didikan atau trauma sejak kecil, perlakuan atau penerimaan sejak dini, bahkan pembiasaan yang berlangsung dalam lingkungan mulai dari keluarga. Pernah diajak nongton di bioskop sama orang tua? Udah dibawah umur, dibawa masuk juga ke dalam. Giliran adegan ciuman disuruh tutup mata. Giliran bakbuk bakbuk disuruh ikut bersorak. Maka nggak heran begitu gede, susah mengenal cinta. Taunya cuma mukul. Mau pedekate aja bingung, ujungnya bukan ngedeketin tapi ngejebak. Kekerasan lagi dah. Jadi warisan semacam itu tetap saja diteruskan dengan mengajarkan anak untuk nggak cengeng, balik mukul, dan tidak pernah mampu berekspresi selain dengan hujatan.
Ketiga, dengan pola warisan yang masih berlangsung tersebut, maka sulit untuk bisa memutus rantai kekerasan. Orang sulit untuk bisa menerima yang berbeda. Nggak biasa dialog, ngomong, berargumen. Pilihannya cuma dua; kalo nggak ngambeg balik punggung karena kalah jumlah, atau kepal tinju pukul duluan sebagai ekspresi ketidaksetujuan. Jadi disini orang mukul bukan karena marah saja, tapi karena nggak suka. Mana bisa berargumen? Melelahkan dan dianggap buang waktu. Urusan meyakinkan orang lain harus dengan paksaan dan jebakan. Itu baru mantep. Sekalian memberi tanda bahwa pelaku kekerasan adalah orang yang superior terhadap korban.
Keempat, pola warisan semakin diperkaya dengan kebiasaan mimikri dan replika. Paling gampang melihat dari tokoh, idola atau orang terkemuka. anggap udah paling benar dan sahih segala perilakunya. Mau umbar ejekan, makian, hingga jotosan itu bukan saja jadi tontonan tapi juga tiruan. Lihat saja di media massa dan media sosial. Nggak artis, pengacara, tokoh agama ya sama saja. Trus gimana mau mengutuk kekerasan, jika yang jadi panutan saja berperilaku demikian? Aneh kan.
Akibatnya kita sendiri jadi bingung bagaimana menyikapi kekerasan. Belain orang yang digebuki dengan balik menghujat, turut prihatin dengan tidak menyebar gambar tapi gelagepan ditanya bagaimana cara agar orang bisa paham bahwa kekerasan itu punya dampak buruk, atau malah jadi kicep cuma bisa diam nggak komentar. Itu sama saja dengan menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan bukan saja sukses berdampak fisik kepada korban, tetapi juga psikis kepada orang lain dengan membuat ogah melihat. Padahal melawan segala kekerasan adalah butuh keberanian untuk bicara dan memutusnya dari akar yang terdalam. Ini bukan soal pukul-pukulan saja lho. Sudah jelas seri awal kita berat sebelah. Namanya juga sudah terbiasa berada dalam ekosistem kekerasan yag lebih luas dari sekedar fisik.
“Violence is the last refuge of the incompetent.” ~Isaac Asimov, Foundation
Maka perlawanan yang harus dilakukan adalah melakukan diseminasi kepada publik secara visual tentang efek panjang dari kekerasan. Orang harus dibuat berpikir panjanglah sebelum mengeluarkan tangan. Berpikir panjang juga untuk tidak memancing di air keruh. Emang harus dikasih lihat kok, sebab tarafnya juga baru segitu. Mana bisa dikasih omongan. Lha, sedari kecil disuruh nongton pilem bakbuk bakbuk terus berharap ada dialog gitu? Selain itu, cek juga pendidikan di rumah. Jangan-jangan masih banyak orang yang masih menjadi bagian dari berbagi pola kekerasan tidak saja fisik, tapi juga verbal, visual, hingga psikis. Sudah sedemikian terbiasa sehingga memang sebagian dari kita ini orang-orang traumatis, sehingga mudah betul untuk balik mengintimidasi hingga memukul. Gimana nggak ngeri.