Menjadi cerdas atau setidaknya kelihatan cerdas adalah impian banyak orang. Sebab cerdas diandaikan bisa menjadi problem solver yang bagus. Ketika ada masalah, maka itu bisa diselesaikan dengan kecerdasan. Namanya orang pinter kan? Masa' gitu aja nggak bisa dan nggak tau. Selain itu, menjadi cerdas adalah kebanggaan tersendiri. Apalagi jika itu diwujudkan dalam hasil dari pengetahuan kognitif yang tertuang ke dalam nilai ujian sebagai bentuk prestasi tersendiri. Jadi juara kelas, selalu menang lomba berpikir, lulus sekolah bahkan kuliah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya seperti proklamasi kemerdekaan.
Akan tetapi benarkah menjadi cerdas adalah identik dengan keberhasilan semacam itu? Benarkah kecerdasan kognitif yang unggul justru membuat kemampuan emosional menjadi tumpul? Orang yang mengandalkan kecerdasan kognitif secara intensif untuk memecahkan masalah, biasanya akan menjadi rigid atau kaku dan tidak melihat aspek lain seperti emosi. Sebab hal seperti itu dianggap tidak obyektif dan akan mempengaruhi hasil yang diinginkan. Sebaliknya, orang yang gob eh tidak mengandalkan atau bahkan tidak terbiasa berpikir sudah pasti akan larut dalam penyelesaian yang bersifat emosional; mulai dari haru biru tersentuh feeling touchy sampe kemudian baku pukul hantam marah-marah. Nah, marah-marahnya orang terlalu pinter adalah dengan mengandalkan kata-kata secara verbal. Asumsinya dengan omongan maka masalah bisa selesai. Bandingkan dengan yang maen hajar dulu baru kemudian ngobrol. Tentu saja perbandingan keduanya adalah titik ekstrim yang berseberangan satu sama lain. Padahal mencari ititk tengah di antara keduanya adalah pilihan yang terbaik.
Selain itu, kekurangan orang yang terlalu pinter adalah di satu sisi bisa mampu menilai situasi eksternal atau orang lain secara obyektif, tapi di sisi lain biasanya tidak bisa menilai diri sendiri. Ini yang disebut dengan mental blind spots. Ada keyakinan yang sangat kuat bahwa pikiran atau cara yang dilakukannya adalah benar seratus persen sehingga tidak membutuhkan orang lain. . Akan tetapi hal ini kemudian diperberat kondisi bahwa pada hakekatnya orang lain justru mengandalkan dirinya pula ssecara berlebihan. Terlebih jika kondisi semacam itu dimulai sejak dari keluarga pada masa kanak-kanak hingga lingkungan ketika dewasa. Otomatis tuntutan yang muncul menjadi berlipat ganda ditambah pula harapan serta nilai yang muncul bahwa diri ini tidak boleh salah. Berat banget kan?
Akibatnya, banyak di antara orang-orang keminter semacam itu beranggapan bahwa diri mereka tidak perlu kerja keras sebagai orang lain yang dianggap medioker atau biasa-biasa aja. Jika orang lain harus setengah mampu banting tulang peras keringat, maka para cerdaswan cerdaswati ini yakin bahwa itu buian untuk mereka. Dengan berpikir saja maka masalah bisa selesai, jadi buat apa harus jungkir balik? Pendapat semacam ini adalah kekeliruan yang jika terjadi sejak awal justru akan menimbulkan persepsi yang juga salah kaprah. Akan baru terasa kelak bahwa kecerdasan tidak bisa menyelesaikan masalah yang lebih kompleks dan faktual. Modal mikir aja nggak bisa jadi sukses apalagi jadi kaya. Sebab untuk menjadi sukses dan kaya, ada usaha-usaha lain yang harus dilakukan sejak dini pula. dengan keyakinan yang keliru seperti itulah, orang yang kelewat cerdas tidak akan mau mengembangkan kemampuan atau kapasitas lainnya. Berasa bisa mikir aja udah bikin perut pura-pura kenyang, apalagi bertindak kan? Sungguh aneh jadinya.
"A man must be big enough to admit his mistakes, smart enough to profit from them, and strong enough to correct them." ~John C. Maxwell
Maka mereka yang terlalu cerdas sudah pasti bikin sebal orang lain. Jeli melihat masalah, kritis dalam menganalisis, jago bicara konseptual nganu ngono, tapi begitu ditanya eksekusinya gimana? Kepemimpinannya seperti apa? kerja tim dengan siapa saja? Anyep langsung. Apalagi jika analisis sudah menjadi overthinking yang berlebihan. jangankan eksekusi, untuk bisa mengambil keputusan cepat dan pasti saja sulitnya setengah mati sebab begitu banyak pertimbangan yang harus diambil. Dikit-dikit jadi debat kusir tak berkesudahan lantaran cuma maen di awang-awang. Mau tidak mau akhirnya sedikit kenyang kata-kata dan kemudian bubar jalan. Gampang meragukan sesuatu sehingga apapun yang dilihat tidak pernah ada bagus-bagusnya. Oleh karena mencari yang sempurna, maka apapun yang dipikirkan kemudian menguap begitu saja.
Itulah sebabnya orang yang kelewat pinter jadi cenderung frustrasi. Terlebih jika mereka melihat kenyataan bahwa dunia nggak butuh mereka. Dunia lebih butuh orang blo'on tapi loyal daripada yang soktau. Maka banyak yang over cerdas itu menderita, apalagi yang pura-pura cerdas. Udah nggak bisa apa-apa, kepedean, terus sok yakin bisa mantap jaya. Ujungnya tersungkur juga dan cuma bisa nyinyir lihat orang lain. Lantas mau bilang apa? Keblinger jadinya.