Banyak orang di zaman begini hidup dengan penuh ketakutan. Takut terkena wabah, takut nggak bisa bayar tagihan atau cicilan, takut miskin, takut nggak bisa hidup dengan layak, takut dipecat, takut nggak punya rumah, takut nggak bisa nyekolahin diri sendiri atau anaknya, takut nggak bisa berkumpul dengan keluarga, takut ditinggal orang yang dicintai, takut nggak dihargai atau diapresiasi, bahkan takut mati. Perasaan-perasaan yang berkecamuk itu kemudian berkumpul jadi satu dan mulai menggerogoti pikiran. Efeknya kemudian ke tubuh. Mulai berasa nggak enak, males makan. Alih-alih mengisinya dengan nutrisi, malah jadi masuk yang macem-macem. Pikiran merusak badan dan ujungnya beneran cepat mati.
Lantas, apa sih sebenarnya yang harus dilakukan. Pertama, adalah memilah rasa takut dan rasa cemas. Takut itu kalau ada sesuatu yang muncul di depan mata, misalnya takut dengan harimau atau cacing. Cemas adalah pikiran yang muncul di kepala, tapi tidak ada di depan mata. Takut ada wujud barang atau bendanya, cemas tidak. Jangan-jangan semua yang dibayangkan itu adalah kecemasan yang berlebih, ketimbang rasa takut yang sesungguhnya. Cemas lebih membunuh manusia modern, daripada rasa takut. Jadi mengapa cemas berlebih? Orang bisa saja berharap atau memiliki ekspektasi, sekaligus juga berjaga-jaga "seandainya gimana gimana". Akan tetapi memikirkannya secara berlebih membuat kecemasan yang tidak mendasar itu seolah jadi pembenaran. Biarkan sajalah. Pusing amat.
Kedua, dengan mengurangi kecemasan maka orang mengurangi masalah tetapi ditantang untung lebih bisa berlaku produktif, konsisten dan memiliki relasi sehat. Toh masalah bukan untuk dipikirkan tapi diselesaikan. Cemas takut kehabisan duit, ya cari duit dengan cara lain. Cemas nggak bisa bayar, ya kurangi konsumsi dan cari cara untuk bisa bayar. Bukan malah kabur terus misuh-misuh kan? Jadi ketika ada masalah, banyak orang cenderung tidak ingin menyelesaikan. Malah bikin drama. Nyalahin keadaan, nyalahin orang lain. Disitulah kecemasan semakin meningkat. Padahal masalah akan selalu ada, selagi orang masih hidup. Nggak mau ada masalah, ya mati aja. Itu memindahkan masalah ke orang lain yang ditinggal kan?
Maka terlihat jika seringkali pikiran dan perasaan itu tidak beralasan dengan cemas berlebih. Selain itu, tidak semua orang mau secara jernih untuk mendudukkan masalah dan mencari solusi. Mengapa? manusia modern sudah terbiasa dengan cara instan, praktis, ogah keringetan, tapi pengen sukses. Semua harus bisa diukur lewat pencapaian material seperti jumlah duit atau barang. Padahal tanpa proses yang baik, cemas berlebih malah jadi beban yang terus bertambah. Frustrasi, akhirnya nangis di pojokan. Jadi apa iya senyum bahagiamu palsu? Janganlah.