Dalam lingkungan kerja profesional dikenal istilah Work Life Balance. Artinya, seseorang dianjurken bahkan dituntut untuk bisa bagi waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Bayangin aja, mereka yang kerja kantoran harus bisa fokus antara jam 9 pagi hingga jam 5 sore, dipotong satu jam makan siang, mulai dari Senin hingga Jumat bahkan Ada yang sampai Sabtu. Minggu narik nafas sebentar dan kembali esok pada rutinitas selanjutnya. Itu pun belum ditambah ekstra tiga hingga empat jam untuk berangkat dari rumah dan pulang dari kantor. Jika jarak dengan tempat kerja semakin jauh, maka semakin tua di jalan. Menikmati sinar matahari hanya sepanjang menuju tempat kerja dan pulang sudah gelap gulita.
Maka nggak heran banyak konsep yang diaplikasikan sebagai bagian dari Work Life Balance dengan beragam kompensasi, seandainya untuk urusan kerja udah nggak mungkin nambah libur. Nambah lembur sih iya. Lihat saja bagaimana tempat kerja kemudian berusaha 'memanjakan' para karyawan dengan daya tarik semisal "di sini disediain cemilan lho, bebas mau ngopi ngeteh". Ya iyalah, makan siang udah nggak sempat keluar jadi dikasih jajanan. Kalo bosen, bisa sesekali keluar kantor beli makan sendiri, tapi udah buang waktu kan? Atau "di sini asik kok nggak pake seragam, bisa casual". Ya iyalah, udah nggak sempet lagi mikirin OOTD jadi dateng pake sendal juga cuek asal nggak ada meeting. Maka itu baju formal, sepatu dan kalo perlu kasur juga ada di belakang meja.
Paling seru adalah bagaimana kemudian karyawan diminta untuk liburan. Ini asik sih. Ambil saja paket 3 hari 2 malam dari Jakarta ke Bali. Sebenarnya sih sama aja bo'ong. Sampe hotel ikut tur, capek merem, besoknya harus balik. Tapi ini penting lho, sebab biar gimana juga dengan berimbang dan mengalihkan fokus kepada liburan, apapun istilahnya. Mau staycation, healing, halan-halan, terserah. Dengan refreshing maka diharapkan orang bisa menjadi segar. Kalo dah segar maka idealnya akan semakin produktif. Dengan semakin produktif maka perusahaan juga untung. Jadi siapa bilang liburan hanya menguntungkan bagi karyawan? Siapa bilang Work Life Balance hanya bermanfaat bagi mereka yang bekerja? Maka nggak heran kalo kemudian abis pulang liburan, cucian numpuk, tau-tau tugas juga sama numpuknya. Nah, gimana nggak asik tuh.
Perkembangan selanjutnya adalah konsep Work Life Balance juga masuk ke dalam ranah profesional. Hanya saja bedanya, pekerjaan tidak bisa ditinggal di belakang. Mau liburan kemana pun, justru adalah memanfaatkan waktu dengan selang seling antara bekerja dan libur di waktu dan tempat yang sama. malah cari duit dan buang duit di ruang yang sama pula. Jadi nggak heran jika banyak orang berbondong-bondong ke tempat wisata sambil bawa laptop, dengan harapan bisa ada akses yang memadai. Apalagi sekarang pemerintah demen pake marketing gimmick seperti digital nomad, work from Nganu, wisata halal, yang sebenarnya nggak lebih dari kosmetik politik. Boleh saja dibuat semacam kampanye untuk digitalisasi seperti akses wifi di mana-mana, tapi jangan harap kualitas bisa memadai. Inisiatif semacam itu justru lagi-lagi lebih mudah diendus dan dikerjakan oleh pihak swasta bahkan asing. Terlebih jika kelas menengah pekerja atau profesional ini lebih peduli soal ada babiknya atau nggak, ketimbang cari spot dimana ada akses internet berbayar yang cukup kencang.
“My goal is to build a life I don’t need a vacation from.” – Rob Hill Sr.
Itulah sebabnya semakin lama akan semakin banyak kebutuhan yang membuat mobilitas orang bertambah tinggi. Libur atau nggak, lama-lama nggak ada bedanya. Apalagi jaman pandemi gini, luring atau daring pun hanya perkara efisiensi. Setiap orang butuh untuk bisa menghubungi dan mampu dihubungi setiap saat. Masih inget jaman blekberi? Dulu jadi kemewahan dan privilege orang-orang tertentu seperti sekretaris atau manajer yang punya itu. Basis providernya pun masih di Singapore. Keren? Ya kagak, sebab jadi nggak ada alasan untuk nggak bales email dan tugas administratif sehari-hari. Dua puluh empat jam penuh harus siap balas. Baru kemudian gawai itu jadi semakin murah, berbahan plastik dan digunakan sebagai alat ghibah emak-emak dan komunitas dadakan. Nah, sekarang sudah ada laptop, tablet bahkan ponsel cerdas. Tentunya dengan akses internet yang stabil -meski masih ngimpi- orang bisa keliling Endonesah sambil kerja. Emangnya bisa? Butuh evolusi beberapa tahun lagi kayaknya. Tapi selagi pake celana pendek main di pasir pantai atau ngopi di atas gunung, gawai nggak lupa dibawa. Begitulah ceritanya.
Jadi, siapkah liburan lagi? Yuklah. Coba cek fotonya. Keren dong ah.