Seringkali kita tidak bisa membedakan antara bangga (pride) dengan sombong (arrogance). Dalam situasi tertentu bahkan rasa bangga dianggap sebagai bentuk keseombongan tersendiri, lantaran menjadi lawan dari rasa malu atau tau diri. Jadi bangga pun tak boleh. Kepala harus tetap nunduk melihat tokai di jalan dan nggak tau bahwa ada langit yang begitu cerah. Mengapa demikian? Selain tidak bisa membedakan, rasa bangga dianggap pintu menuju kesombongan itu sendiri. Padahal bedanya jelas cuk. Bangga itu selalu bersifat positif secara emosional. Selain itu ada nilai sosial di dalam sebuah kebanggaan.
Misalnya seorang pemain bola mencetak gol, sudah pasti rasanya bangga banget. Secara positif rasa bangga itu menjadi motivasi dan membangkitkan rasa percaya diri. Bernilai sosial jika ada pengakuan bahwa pencapaian itu adalah tidak saja hasil dari upaya personal, latihan dan persiapan matang tetapi juga kerjasama dengan orang lain. Istilahnya ya teamwork gitu. Dengan kata lain, gol yang dihasilkan adalah refleksi dari kerja keras seluruh orang, bukan cuma dirinya. Sebaliknya, pemain bola tersebut bisa menjadi sombong jika menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang biasa. Sudah pantas, katanya. Self entitlement semacam ini muncul karena menganggap diri cucok dengan hasil yang diterima. Baginya, justru menjadi aneh dan tidak layak jika tidak punya kesempatan untuk membuat gol. Selain itu, nilai sosial yang seharusnya ada malah ditiadakan. Gol yang dibuat adalah hasil pencapaian personal. Nggak ada kerja tim dan orang lain cuma figuran.
Hal yang sama terjadi dalam contoh yang lebih kongkret adalah semisal di dalam dunia profesional atau organisasi. Atasan atau pimpinan yang sombong membuat segala pencapaian itu tidak lebih dari upaya pribadi, anak buah dan orang lain hanya sekedar ikut mendukung. Itu sama dengan memperlihatkan sisi egois serta kecenderungan narsisistik. Dengan mengingkari peran lain di luar dirinya, maka pencapaian itu menjadi sebuah kepantasan yang memang sudah seharusnya diterima. Hal yang menarik adalah biasanya bentuk kesombongan adalah upaya untuk menutupi segala kekurangan yang berbanding terbalik dengan apa yang ditampilkan. Pendapat seperti ini ada benarnya juga. Sebab dalam interaksi profesional atau organisasi, akan terlihat jika dikuliti satu per satu. Benarkah ada pencapaian personal? Lha kedua bentuk itu aja adalah bersifat kolektif kok. Atasan yang sok-sokan bisa bakal kicep ditinggal anakbuahnya. Pimpinan yang bergaya udah paling keren, paling wah, bisa jadi nggak bisa mengelola apa-apa. Jangan-jangan cuma direkayasa untuk tampil di atas, tapi nggak pernah paham bahwa dirinya di situ untuk apa.
Maka di dalam sebuah bentuk arogansi, ada rasa kepantasan itu yang menjadi sumber penyakit hati. Lebih menarik lagi adalah menggali motif dari self-entitlement itu. Bisa jadi orang yang berpantas-pantas memacak diri di depan kaca itu adalah persona yang dulunya serba minder. Maka menjadi terlihat unggul dan menghasilkan kesombongan adalah balas dendam yang terlampiaskan. Banyak penipu keuangan yang muncul gegara dendam terhadap kemiskinan di masa lalu. Banyak pelacur intelektual yang timbul karena muak dulu dianggap bodoh terbelakang. Banyak playboy kacangan yang nongol lantaran mangkel dilihat buluk nggak pernah bisa menggaet perempuan. Entah ngaku sugih, pinter atau ganteng, maka secara sadar atau tidak mereka memanipulasi diri sendiri. Buat apa? Pertanyaan itu nggak penting. Terpenting adalah bagaimana persepsi orang bisa diubah dengan melihat bahwa mereka berbeda dengan dulu dan kini harus bisa dipandang utuh oleh mata publik. Pikir mereka ada rasa malu (humility) yang butuh ditutup dengan tampil kelewat pede.
Akan tetapi mereka lupa bahwa menjadi arogan adalah bersifat superfisial. Awalnya orang terpukau, tapi lama-lama jijik. Sebab ternyata ya cuma gitu-gitu aja. Ibarat gertak sambal cuma seolah pedas di iklan, tapi anyep di lidah. Tidak ada kebanggaan yang esensial di situ karena cuma untuk memauskan diri dan dilihat orang. Pencapaian boleh dibilang minim karena yang ngaku kaya, duitnya hasil ngerampok. Ngaku pinter ujungnya cuma copy paste, atau ngaku keren tapi cuma berlaku di tetangganya doang. Jadi, terjebak ke dalam kesombongan itu sebenarnya menyakitkan lantaran buih busa lebih banyak ketimbang upaya nyata. Persis sabun cuci murahan. Akibatnya, orang tidak bisa lagi memilah antara sombong dan bangga. Gegara itu.
“Confidence is when you believe in yourself and your abilities, arrogance is when you think you are better than others and act accordingly. You could say that arrogance is false confidence and that the person displaying it is overcompensating for their inner inadequacies.” ~Stewart Stafford
Jadi, haruskah bangga? Harus. Itu perasaan yang wajar jika seseorang berhasil mencapai apa yang dilakukan. Bukan sekedar kepengen, atau cuma mimpi bisa begini begitu. Apalagi bangga itu harus juga menular kepada yang lain sebagai sebuah pencapaian bersama. Turut berbangga adalah memberi motivasi, vibrasi positif yang kemudian membuat orang lain jadi semangat untuk melakukan hal yang sama atau lebih. Sebaliknya sombong adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh mereka yang cuma bisa mau dan ngelindur. Sudah bisa berasa begini begitu, seolah berkompetisi dengan orang lain padahal jalan di tempat. Lebih banyak ngaku bisa ketimbang menjalani secara biasa. Sombong jadi merasa pantas dan kepantasan itu membuat ego jadi bengkak. Begitu meletus, kontan jari menuding bahwa dirinya dizolimi. Kasian emang.