Buat hampir semua orang di negara ini, pulang kampung adalah sebuah aktivitas rutin yang dilakukan terutama pada menjelang hari raya keagamaan. Apapun agamanya, di manapun tinggalnya, pastilah berkunjung balik berkumpul bersama keluarga besar adalah hal yang biasa. definisi pulang kampung secara luas bukan saja soal kembali ke kampung halaman di kota atau daerah asal, tetapi juga mendatangi rumah orang tua dan sanak saudara meski masih berada di seputar tempat yang sama. Namanya dulu juga mudik, kembali ke udik alias hulu. Ini adalah sebuah sejarah sosial ketika jaman dulu orang bermigrasi dari kampung yang biasa terletak di hulu menuju kota di hilir sungai. Kota yang dulu identik dengan pesisir dan pasar, beda banget dengan kampung yang berkonotasi sawah ladang dan sepi. Untuk mencari sesuap nasi dan penghidupan yang lebih baik di tengah keramaian, maka orang bermigrasi ke kota alias urbanisasi. Tapi biarpun dah jadi orang kota ya namanya juga teringat kampung, momentum yang paling pas untuk pulang adalah saat hari raya. Maka aktivitas pulang itu jadi ritual tersendiri dalam beberapa waktu tertentu.
Pulang kampung bukan monopoli penduduk di Indonesia, tetapi juga dilakukan di negara lain seperti China saat menjelang Xinjia atau Tahun Baru, atau juga Amerika Serikat begitu mau Thanksgiving. Jadi asumsi bahwa mudik itu cuma buat orang kampung alias ndeso, negara berkembang, mental siklis ya nggak berlaku juga kan? Semodern apapun, tetap saja orang punya kerinduan tersendiri untu merujuk ke tempat asal. Pada tahun ini, aktivitas pulang kampung di Indonesia bakal lebih ramai dari tahun-tahun sebelumnya karena situasi wabah yang sudah mulai mereda, serta keinginan yang tertahan selama beberapa wajtu lalu untuk berkumpul bersama akibat pembatasan. Nggak tanggung-tanggung, urusan mudik tahun ini diperkirakan melibatkan 79 juta orang di seluruh Indonesia. Dua hari menjelang Lebaran, ada sekitar 3,6 juta orang pergi meninggalkan Ibukota. Maka biasanya DKI dan sekitarnya juga menjadi sepi. Aktivitas seperti ini sudah mulai sekitar seminggu sebelum hari raya dan akan pulih seminggu sesudahnya.
Dengan kata lain, akan ada efek rutin yang terjadi dan terakumulasi pada saat hari raya, terutama sekitar Lebaran serta Natal dan Tahun Baru. Produktivitas mulai surut sementara angka konsumsi naik. Harga-harga bahan pokok juga pastinya naik ditambah dengan perhitungan inflasi. Apa yang tidak naik, biasanya akan menjadi langka dan sulit didapat. Sementara yang naik jadi sulit untuk diraih. Kemacetan? sudah pasti terjadi dan herannya orang masih tetap saja memaksakan diri untuk pulang pergi sama persis dengan yang lain. Bisa jadi memang jatah cutinya ya segitu. Capek bahkan tidur di jalan, kehabisan bahan bakar, kaki pegal, adalah ritual yang biasa dilakukan meski bilang kapok tapi tahun depan begitu lagi. Sebab pembenarannya paling gampang "kapan lagi bisa begini" dan "ya setahun sekali aja cukuplah".
Oleh karena itu pulang kampung adalah kesempatan untuk berpindah dunia, melupakan penat yang satu digantikan dengan capek yang lain. Apalagi pake imbuhan hari raya, sudah pasti membuat orang berasa beda. Lupakan sementara urusan kerjaan, kegiatan, aktivitas rutin yang biasa dilakukan. Meski buat sebagian orang tahun ini dirayakan dengan lebih sederhana, tapi atmosfir yang ada tetap sama. Naiknya angka konsumsi bukan saja berdampak kepada permintaan bahan pokok tapi juga urusan lain. Setidaknya angka sewa mobil naik bahkan di sebuah kota di Jawa mencapai 50%. Ini cukup menguntungkan padahal penjualan mobil baru diprediksi surut 13,04% dan mobil bekas datar-datar saja. Kebutuhan untuk moda keliling, apapun bentuknya kini dipandang menjadi prioritas daripada baju baru. Bukanlah mall dan departement stores rame di mana orang cari busana itu fenomena tahun 2019 BC kan ya? Before Corona. Walau di beberapa tempat diprediksi pengunjungnya bakal naik sampai 30%, paling banter ya makan doang.
Perubahan boleh saja banyak terjadi, tapi mudik sebagai sebuah kebiasaan atau bahkan tradisi nggak bisa dihalangi. Pemerintah paham betul bahwa hal semacam itu haruslah diakomodasi. Salah satunya adalah percepatan pembangunan dengan jalan baru dan berbayar. Itu sebagai sebuah potensi untuk bisa membuat manajemen transportasi menjadi lancar, selain retribusi yang terkumpul akan menguntungkan. Tapi ya tetap saja dalam prakteknya kepadatan tidak bisa dihindari. Dalam kurun empat hingga dua hari menjelang Lebaran, angkanya bisa melonjak dari 149% hingga 200%. Jadi kalo bermacet-macet sampai harus nggelepar di pinggir jalan gegara semua orang milih jalan tol, ya jangan misuh-misuh. Itu adalah pilihan berikut resiko yang harus diambil. Pilihan dan resiko yang kebetulan sama dengan jutaan orang lainnya.
“You will never be completely at home again, because part of your heart always will be elsewhere. That is the price you pay for the richness of loving and knowing people in more than one place.” ~ Miriam Adeney
Lagi pula, mudik adalah segalanya. Lah jangankan pulang kampung pas hari raya, hampir semua petugas keamanan juga tau kalo nangkep maling kabur di Indonesia tinggal datengin aja kampungnya. Mudik pun harus pas pada waktunya. Nyaris nggak akan ada orang yang bilang, eh gue mudiknya pas abis hari raya aja ya? Bisa aja sih, tapi malah jadi anyep ntar. Suasananya nggak akan dapet, sebab yang dicari kan justru cerita atau narasi yang selalu bervariasi di setiap tahun. Ada yang duduk atau berdiri berjam-jam menggunakan moda transportasi, ada yang datang pas lapar-laparnya, ada yang datang sumringah bagi-bagi cuan tapi mikir pas balik ntar bakal kehabisan, ada yang senang pulang bayar hutang pake duit tunjangan dan membayangkan pas kembali bakal cari pinjaman, ada yang girang pulang bisa ngerasain masakan emak, tapi ntar tahun depan belum tentu bisa merasakan yang sama. Jadi berbahagialah yang bisa mudik. Meski cuma ke kecamatan sebelah, itu kemewahan tersendiri buat memanfaatkan liburan sekalian cari hiburan. Lumayan daripada bengong nggak karuan. Buat yang di jalan, selamat pulang kampung!