Gegara pemberitaan yang cukup heboh belakangan ini tentang atasan membunuh bawahan, maka terminologi tentang 'melukai harkat dan martabat' jadi cukup dikenal masyarakat. Tentunya sebagian orang secara kritis bertanya, apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan harkat dan martabat itu? Samakah di antara keduanya? Atau jangan-jangan berbeda? Jika melihat kedua kata tersebut secara lebih dalam, maka jelas ada perbedaan yang cukup mendasar. Harkat adalah nilai manusia sebagai makhluk Tuhan yang dibekali cipta, rasa, karsa dan hak-hak serta kewajiban azasi yang ada pada dirinya. Dengan kata lain, setiap manusia punya harkat yang sama atas kemanusiaan. Martabat adalah hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis. Martabat merupakan konsep yang penting dalam bidang moralitas, etika, hukum, dan politik, dan berakar dari konsep hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat dicabut dari Abad Pencerahan. Martabat manusia berbeda-beda tergantung dari subyek nilai, kedudukan, sumber asal-usul status dan jenis yang diberikan atau melekat kepadanya. Sebagai contoh keduanya, misal harkat manusia adalah sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sedangkan martabat seorang Raja atau Presiden adalah berbeda dengan orang biasa karena subyek nilai yang berbeda.
Sampai di situ jelas bahwa yang seringkali menjadi persoalan dalam perihal harga diri, ketersinggungan, reputasi dan sejenisnya adalah seputar martabat. Entah seorang Raja atau kawula warga biasa, semua punya martabat minimal sebagai seseorang yang memiliki reputasi. Harap diingat bahwa reputasi adalah kesan, bukan pembawaan karakter. Artinya sejauh mana ia dihargai orang lain adalah jelas karakter yang dibentuk. Dengan demikian reputasi mengikuti karakter. Bagaimana ia dihormati orang lain adalah karena karakter yang dimiliki. Misalnya saja tepat janji atau menuntun lidah. Jika seseorang selalu menepati perkataan sesuai tindakan, maka reputasi yang menyertai bisa dikatakan bagus kecuali memang ada orang yang tidak suka. Jika seseorang ngemeng doang, demen bohong apalagi punya intensi untuk menghindari kewajiban bahkan menipu, maka sudah pasti reputasinya buruk. Dengan demikian, bagaimana bisa ia punya ketersinggungan soal martabat jika orang lain tidak percaya kepadanya? Bagaimana bisa ia berlagak baper ngambeg hanya karena orang lain tidak melihat ia menepati omongannya?
Jadi untuk bisa mempertahankan atau membela martabat, karakter seseorang menjadi dasar timbal balik untuk setiap reputasi yang dia inginkan. Jangan mimpi untuk bisa dihargai ketika menghargai diri sendiri aja nggak mampu, apalagi orang lain. Jangan ngarep untuk bisa menampilkan yang terbaik, jika itu cuma sambel kecap menjaga reputasi belaka tanpa mengembangkan karakter yang sesungguhnya. Itulah sebabnya urusan soal martabat itu pelik. Ketika menyangkut harga diri, kebanggaan, pengakuan sosial bahkan personal, seseorang tidak dapat menuntut begitu saja hal-hal baik datang untuk melekat kepada dirinya. Membangun karakter itu memang tidak bisa sekejap, tapi meruntuhkan harga diri bisa sekali pukul. Oleh karena itu cara satu-satunya adalah dengan membangun kualitas personal jauh sebelum melangkah kepada menjaga reputasi. Kalo hanya fokus kepada soal reputasi, ya namanya juga omongan orang; bisa ada yang baik bisa pula ada yang buruk. Sama aja kayak nangkep angin cuma karena pengen adem kan?
“Dignity will only happen when you realize that having someone in your life doesn’t validate your worth.” ~Shannon L. Alder
Maka kasus yang muncul di atas sebagai contoh adalah gambaran tentang betapa sulitnya orang berusaha menjaga apa yang disebut sebagai harga diri, kalo memang benar alasannya adalah seperti itu. Terlepas dari soal ragam motif yang mendasari, tentu saja seseorang harus bisa bercermin sesuai dengan derajatnya ketika berurusan dengan martabat. Kalo orang biasa dilecehkan atau dihina, sudah pasti dia bakal bereaksi maksimal ambil senjata dan bunuh sebagai tindakan spontan. Harga diri tersinggung tanpa banyak mikir resiko dan konsekuensi. Kecuali kalo pada dasarnya cemen atau emang blo'on. Kalo bukan orang biasa dan tersinggung, dia akan berpikir strategis untuk melenyapkkan siapapun orangnya dengan cara halus dan punya nilai politik tanpa harus mengotori tangan sendiri. Itulah sebabnya argumen 'melukai harkat dan martabat' itu patut dipertanyakan. Entah goblok tidak bermental pemimpin sesuai martabatnya, ataukah ada sesuatu hal besar yang disembunyikan lebih dari sekedar penghinaan atau pelecehan. Jika sampai membunuh tanpa sinkron dengan motif soal martabat, itu sih bukan kejam dingin tapi megalomania sadistis. Kalah kan sama drakor?
Itu cuma satu kasus, sebab banyak yang serupa terjadi di masyarakat kita. Entah apapun alasan atau motif yang sesungguhnya, istilah harga diri dan martabat sering jadi baju terluar untuk mematut dan memantaskan diri ketika ditanya soal tindakan yang dilakukan. Sayangnya, jangankan soal definisi; untuk urusan bagaimana seseorang bisa dipandang dan diakui baik secara eksistensial pun masih saja harus berurusan dengan kemampuannya untuk bisa membangun karakter. Itu pun telat nyadar. Dengan kata lain, lu minta dihargain tapi kelakuanlu kayak tokai. Ujungnya ya wanipiro ajalah ya.