Dalam beberapa tahun terakhir, istilah cancel culture atau budaya pengenyahan menjadi semakin populer. Betapa tidak, sebab budaya tersebut menjangkiti banyak orang melalui terutama melalui penyebaran opini di media sosial. Cancel cuture sendiri adalah sebuah upaya yang bersifat massif untuk memboikot, membuat seseorang menjadi tidak populer, mengenyahkan dari media dengan cara menjelekkan atau kemudian menolak yang bersangkutan untuk dibahas di dalam ruang publik. Kasarnya, meng-cancel atau men-delete seseorang dari perbincangan umum.
Cara tersebut membawa efek tiga kali lipat. Pertama sudah pasti nama baik yang bersangkutan menjadi cemar, semisal dikaitkan dengan konotasi kekerasan, kebencian rasial, atau perilaku seksis. Kedua, jika dikaitkan dengan profesi maka bisa jadi ada dampak penurunan pendapatan, ketidakpercayaan dan juga pembatalan kontrak yang berdampak kepada penghasilan secara toal. Ketiga dan terpenting, diharapkan selamanya yang bersangkutan terkubur dan tidak pernah dibicarakan lagi sehingga terjadi isolasi sosial yang berlangsung secara menyeluruh hingga ke ranah fisik atau non virtual. Istilahnya, pembunuhan karakter secara habis-habisan. Jika dulu orang bersalah sekali pun bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan, maka dengan cancel culture tidak ada ampun dan harus dienyahkan.
Budaya pengenyahan menjadi semakin membahayakan secara efektif karena diikuti dengan gerakan dengan hashtag #Metoo yang memberi konribusi berupa dukungan dengan kesaksia perlakuan yang sama dan dialami orang lain. Apakah ada hubungannya? jelas tidak, tapi sekurangnya dengan merangkai perbuatan yang sama, maka motif yang sama diharapakan bisa muncul dan memojokkan yang bersangkutan. salah satu contoh terkenal yang berkaitan dengan budaya pengenyahan adalah seteru antara Johnny Depp, pemeran utama dalam serial film Pirates of Caribbean, melawan mantan istrinya yakni Amber Heard. Dalam kasus pengadilan yang masih berlangsung hingga saat ini, Heard diduga melakukan pembunuhan karakter melalui gerakan pengenyahan dalam sebuah keterangan yang diberikan kepada publik yang mengesankan Depp sebagai 'pemukul istri'. Depp kemudian menuntut balik melalui pengadilan untuk membersihkan namanya atau defamation trial dengan ganti rugi sebesar 50 juta US Dollar atas dampak dari cancel culture tersebut. Apakah Johnny Depp sendiri terbukti bersalah? Jika ternyata tidak, maka proses budaya pengenyahan itu menjadi jelas semakin beracun.
Dengan demikian, selain cancel culture adalah racun yang dapat merusak nama baik, pelakunya bisa siapa saja terlepas dari gender yang ada. Ia bisa lelaki maupun perempuan. Korban bisa seseorang, bisa pula sekelompok orang baik karena bias gender, rasial, kelas sosial, pendidikan, kelompok ekonomi tertentu dan sebagainya. Bisa pula artis atau orang biasa, nggak pandan bulu. Pelaku sendiri jelas punya agenda yang dapat berkaitan dengan toxic masculinity atau feminity. Jangankan lelaki yang berpikir dominan terhadap sesama lelaki atau bahkan perempuan. Toh ada juga perempuan yang berpikir harus dapat mengambil keuntungan dari lelaki dan juga menindas sesama perempuan bukan? Jadi apakah seorang pelaku cancel culture adalah sosok yang bermasalah secara psikis? Bisa jadi. Sebab ekspresi melalui cara pengenyahan adalah bentuk ketidakmampuan mental yang bersangkutan untuk secara personal berhadapan dengan korban. Pelaku budaya pengenyahan sadar bahwa satu-satunya cara untuk bisa menjatuhkan adalah dengan menggunakan media untuk mempengaruhi opini,memberi kesan dan membentuk citra negatif secara massif. Bermula dengan status, komentar atau olok-olok terbuka di depan umum tanpa menyebut nama, atau kemudian menyebar gosip dan obrolan yang menjatuhkan.
“A cancel culture is people who have failed in life. People who failed to accomplished anything good. People who have failed to be themselves and to accept themselves. There is no successful person, Who can try to take away someone's plate or who can try to destroy what someone has built, because they know what does it take to accomplish and to achieve something.” ~ De philosopher DJ Kyos
Maka tidak mengherankan jika pelaku budaya pengenyahan menjadi dipertanyakan perihal kesehatan jiwanya. Entah narsisistik, megalomania, sosiopatik, pastinya tidak mudah untuk memberi labelling semacam itu. Akan tetapi jika berhadapan dengan mereka yang terang-terangan melalukan budaya pengenyahan, pilihan pertama adalah jelas akal sehat untuk bisa memfilter, menyeleksi dan memilah setiap opini yang muncul. Sebab ada saja orang yang terpukau dengan kesaksian atau narasi yang dibangun secara meyakinkan untuk berpartisipasi di dalam budaya pengenyahan. Kedua, cancel culture bukanlah bentuk ketidaksengajaan atau sekedar omongan miring. Budaya pengenyahan berkaitan perilaku dan agenda serius. Oleh karena itu, mendiamkan pelakunya adalah cara yang cukup efektif ketimbang harus ikut-ikutan. Lantas bagaimana dengan korban sendiri? Bukan tidak mungkin untuk melakukan defamation trial atau menuntut melalui proses pengadilan. Di Indonesia sendiri masih ada pasal 310-311 KUHP soal pencemaran nama baik. Meski kerap dibilang pasal karet dan dianjurkan berdamai, lumayanlah bisa maksimal 9 bulan meski nggak kepikir buat dapetin 50 juta US Dollar macem Johnny Depp. Paling nggak biar kapoklah dikit berurusan dengan hukum.