Kalo ditanya, apakah semua orang ingin bahagia? Jawabannya pasti iya. Tidak ada yang bilang pengen susah, menderita, sedih, merana dan emosi lain yang dianggap negatif serta merugikan. Tapi banyak pula orang tidak tau bahwa bahagia itu bukan tujuan, melainkan proses. Konsekuensinya di dalam proses akan ada bercampur dengan emosi atau perasaan lain yang katanya mau dihindari. Jadi bahagia itu nggak akan murni seratus persen. Bisa tebal, bisa tipis-tipis. Bisa campur pula dengan susah dan sedih, bisa juga bahagia itu menghilang beberapa saat hingga entah kapan kembali. Kenapa bukan tujuan? Sebab bahagia tidak ada yang permanen. Kayak situ dikasih permen dan happy, terus ketagihan minta lagi atau malah eneg nggak mau lagi.
Oleh karena mengira sebagai tujuan, maka orang mengejar bahagia secara mati-matian. Harus bisa diperoleh, dikuasai, bahkan ditampilkan kepada orang lain. Sebab impresi atau kesan dianggap jauh lebih penting ketimbang substansi atau isi. Kok bisa? wajarlah, kan mana ada bahagia seratus persen. Tapi kalo orang lain tau diri ini nggak bahagia, apa kata dunia. Seolah sudah menjadi manusia yang paling sial durjana. Maka di satu sisi, orang berupaya agar tampak bahagia. Perkara ada apa sebenarnya, ditutupi habis-habisan. Apalagi jaman medsos gini kan? Itu persis seperti tampil sebagai keluarga harmonis dengan posting berulang kali foto keluarga. Padahal aslinya sih buyar ribut melulu tiap hari. Atau majang diri ngopi-ngopi cantik menikmati akhir pekan. Bisa jadi puyeng mikirin duit atau pengeluaran lain yan lebih besar. Di sisi lain, impresi diharap membuahkan hasil berupa tanggapan positif, popularitas, bahkan dukungan yang kelak diharap memberi benefit kepada yang bersangkutan. Validasi penting, sodara-sodara.
Lah, bukannya itu sama saja dengan berbohong? Sudah pasti. Sebab dengan pura-pura bahagia atau bahagia yang dikondisikan, orang harus membangun citra tanpa henti tentang dirinya. Tampil sempurna jadi tujuan yang harus bisa diraih dan dijaga habis-habisan supaya bisa mengesankan orang lain. Akan tetapi, pada titik ini setidaknya ada dua kelemahan yang muncul. Pertama, dengan menjaga habis-habisan maka tidak boleh sekali pun lengah untuk memperlihatkan kelemahan. Sebab dengan kelihatan lemah, maka impresi yang muncul bisa berbalik anyep dan lebur. Apa nggak capek? Sudah pasti melelahkan. Kedua, tampil sempurna memaksa orang untuk berbohong terus menerus bahkan tanpa bisa dikontrol. Semisal ditanya, udah kerja belum? Meski pengangguran pasti jawabnya sudah. Bilang gaji dua digit pula. Tapi kalo dikejar hal yang lebih detail pasti tersungging miring. Jawabnya, itu soal privasi blabla. Itu adalah batas konsistensi terhadap kebohongan. Kalo mau lebih gila lagi ya ngarang aja, sudah jadi pegawai tetap dan ditugasnkan di anu-itu. Orang lain yang mendengar bisa terpukau. Entah karena menganggap benar, atau melihat bahwa yang bersangkutan cukup gila unk bisa berbohong maksimal.
Dengan kata lain pura-pura bahagia itu selalu bikin masalah baru. Menutupinya ibarat gali lubang tutup lubang. Alih-alih bahagia yang permanen, justru lingkungannya bisa jadi nggak permanen. Bagi dirinya, tidak ada perkawanan yang abadi. Sebab begitu orang lain tau ia berbohong, maka dengan mudah mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menerima keadaan dirinya yang unik, otentik atau orisinal. Teman bisa berganti-ganti sesuai dengan kebutuhan. Mereka yang sudah melihat belang asli di balik upaya kesempurnaan sudah pasti akan pergi meninggalkan. Mereka yang belum, masih bertahan entah karena belum atu atau secara bebal berharap akan ada perubahan.
Tapi berbohong demi kebahagiaan semu yang dilakukan secara intensif atau terus menerus justru melahirkan semacam bentuk patologis tersendiri. Entah karena tuntutan skenario, atau terpaksa gegara hidup emang begitu-gitu aja, maka pura-pura bahagia menjadi hambatan psikis akut yang lama kelamaan membuat pelaku tidak mampu lagi membedakan mana yang nyata dan ilusi berkat kebiasaannya untuk berbohong. Dengan kata lain, ia hidup dan yakin dengan kebohongan yang diciptakan. Ia percaya penuh bahwa dirinya benar-benar bahagia. Seratus persen. Orang lain yang melihatnya berbeda dianggap tidak sejalan, tidak mendukung dan menjadi ancaman yang harus disingkirkan.
“Some people are happy only because they have managed to deceive others into believing that they are happy.” ~ Mokokoma Mokhonoana
Maka pura-pura bahagia adalah penderitaan tersendiri. Sungguh ilusi yang kadang membuat orang seolah menghibur diri, tapi kemudian hidup di dalam kepalsuan yang memang nikmat. Kalo pun sempat bahagia, ya karena senang aja bisa memperlihatkan pada orang lain bahwa mereka seolah bahagia. Paling itu aja. Selebihnya, siapa sih yang nggak mau kelihatan lebih dalam segala hal? Punya karir, ada duit, populer, digilai lawan jenis, tampil cerdas, kelihatan berbakat, punya ragam keahlian, apa-apa serba mudah. Perkara kepala pening gegara kerja bisa putus kapan aja, bokek, minim keahlian, cari masalah dengan lawan jenis, aslinya bego, itu biar diri sendiri aja yang tau. Sebab konon katanya hidup itu harus kayak bebek; kelihatan santuy berenang di permukaaan padahal kakinya sibuk mengayuh sana sini. Satu hal yang dilupakan adalah bebek berenang di hamparan air, bukan lautan ilusi.
Jadi beneran sudah [pura-pura] bahagia?