Di Endonesah, urusan hajatan aja nggak pernah dianggap main-main. Apalagi buang hajat alias berak. Ini problem yang biasa terjadi di belahan dunia mana pun, terutama negara-negara berkembang atau yang baru merangkak maju. Tidak terkecuali negara besar atau kecil maka soal boker tidak pada tempatnya, ketiadaan fasilitas sanitasi dan defekasi, atau bahkan kesadaran yang lebih tinggi untuk memperlakukan ritual mules itu harus tetap dilakukan dengan kesantunan dan adab yang tinggi. Bagaiamana tidak, sebab dengan memperlakukan urusan buang hajat secara serius, maka itu mencerminkan bagaimana perilaku masyarakat di dalam sebuah negara.
Saking seriusnya, di negara ini sudah ada asosiasi dan juga satgas yang mengurusi soal jamban. Bahkan ada juga standar pedoman yang dikeluarkan untuk toilet umum. Orang boleh saja mengatakan bahwa ini punya tujuan politik tertentu, tapi dengan adanya keseriusan tersebut berarti urusan buang hajat sudah pasti ngak main-main. Mengapa? hingga tahun 2020, masih ada 70 juta warga yang belum memiliki akses terhadap toilet. Definisi yang jelas soal toilet di sini adalah perihal sanitasi yang dikembangkan dan dimiliki termasuk lubang dengan tempat penyiraman, saluran pembuangan dan sarana lain yang terventilasi. Artinya, masih ada 70 juta orang yang buang hajatnya masih jongkok bebas di kebun, kolam, sungai, dan di mana saja secara bebas di luar standar yang ditentukan. Data juga menunjukkan bahwa dengan adanya keseriusan itu maka urusan buang hajat juga sebenarnya mengalami perbaikan pesat. Pada tahun 2020 pula, mereka yang punya akses ke toilet adalah sebesar 79.53% dari total jumlah penduduk. Itu jauh lebih baik ketimbang tahun 2005 di mana yang punya akses hanyalah sebesar 52%. Artinya lebih dari lima belas tahun yang lalu hanya separuh lebih penduduk yang bisa boker dengan layak. Padahal itu sudah era Milenium kan? Bayangin angka yang lebih sedikit di masa sebelumnya.
Lantas kenapa jadi penting? Ini tentu saja bukan soal adab lagi, tetapi juga kepentingan yang kemudian dianggap menjadi semakin penting seperti soal pariwisata. Jika pemerintah menginginkan devisa masuk ke negara ini, sudah pasti kenyamanan turis berikut soal buang hajat jadi penting. Di satu sisi harus ada akses dan kemudahan bagi siapa pun yang datang untuk melepas beban mules. Di sisi lain jadi ada pembelajaran terutama soal bagaimana bentuk modern dan kebudayaan tentang buang hajat yang lebih pantas dan menyenangkan. Selain soal pariwisata, tentunya toilet juga mencerminkan bagaimana peradaban sebuah negara dipandang maju meski urusannya juga bukan cuma sekedar bikin bilik. Harus ada saluran air bersih dan kotor, kecanggihan untuk menyiram bahkan bersih diri sesudahnya. Ribet? Pasti.
Dengan kata lain, urusan toilet bukan lagi masalah teknis tetapi soal kebudayaan. Sebab dari angka nyaris delapan puluh persen yang punya water closet atau WC itu, tidak diketahui pasti namun diduga mayoritas adalah mereka yang terbiasa dengan jongkok atau posisi squatting, terutama masyarakat di luar kota besar. Pendatang urban pun juga belum tentu terbiasa untuk posisi di toilet duduk. Maka tidak mengherankan jika sering ditemukan jejak telapak atau alas kaki di toilet duduk karena banyak orang yang terbiasa untuk jongkok di atasnya. Terlepas dari argumen bahwa jongkok lebih menyehatkan blabla, tapi fenomena itu sudah pasti berdampak kepada soal kebersihan dan juga kenyamanan pengguna lain. Untuk toilet jongkok di pelosok pun pastinya ada tantangan lain seperti soal akses air, pembuangan dan juga urusan bersih-bersih.
Kemudian apakah toilet duduk juga sudah dipastikan sebagai bentuk modern yang bisa diterima masyarakat perkotaan? Belum tentu. Umumnya pemahaman dan wawasan orang terhadap bentuk toilet ini juga sangat beragam. Toilet duduk sudah pasti juga punya beragam style mulai dari American, Dutch, hingga Asia atau Jepang. Gaya Amerika umumnya punya dudukan yang agak tinggi. Ini pernah populer bahkan dipasang di tempat umum seperti bandara tidak saja tempat boker tapi juga urinoir atau tempat pipis lelaki. Saking tingginya dan juga dipasang semacam shield plastik, maka cowok pendek harus agak jinjit dan menembakkan kelaminnya di atas perisai sialan itu, Sudah pasti menyulitkan sampai kemudian shield tidak digunakan lagi. Gaya Belanda adalah dudukan toilet yang memliki posisi lubang di depan dan ada genangan di atasnya. Ini model lama yang di jaman sekarang bikin orang canggung untu menggunakannya. Sementara model Asia atau Jepang adalah yang kini semakin umum, terutama dengan penggunaan bidet atau semprotan air untuk cebok.
Lantas masalahnya selesai? Nggak juga. Perdebatan yang muncul kemudian adalah apakah kebiasaan untuk bersih-bersih itu masih harus menggunakan tangan kiri dan bilasan air seperti dulu saat masih jongkok, atau kini harus mengikuti 'cara Barat' menggunakan tisu? Sebab hal ini masih menimbulkan ketidaknyamanan sebagian orang yang harus buang hajat di tempat gedung perkantoran atau rumah tinggal yang lebih modern. Kan nggak lucu harus celingak-celinguk cari sabun dan gayung. Di satu sisi ada orang yang masih bersikeras menggunakan tangan dan air yang dianggap bisa lebih bersih, tapi di sisi lain ada juga yang memang harus merangkul kebiasaan baru dengan kertas lembut karena akan lebih mudah jika berpergian ke tempat yang dianggap lebih modern.
“Civilization rests on two things," said Hitzig; "the discovery that fermentation produces alcohol, and voluntary ability to inhibit defecation. And I put it to you, where would this splendidly civilized occasion be without both?” ~ Robertson Davies, The Rebel Angels
Jadi selain gegar budaya, urusan pertoiletan juga memperlihatkan bagaimana modernitas secara berlapis diterima dan dijalani oleh masyarakat umum. Buang hajat bukan lagi soal teknis akses dan kepemilikan terhadap lubang tokai, tapi bagaimana orang secara berbeda memahami bahwa ada perspektif yang berbeda, berlapis dan kondinal tergantung dari lokasi, ruang dan waktu untuk memberi definisi soal kepantasan dan kenyamanan. Defekasi atau boker nggak cuma soal pilihan jongkok atau duduk, tapi keputusan budaya dalam konteks peradaban manusia untuk tetap bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan teknologi yang terjadi. Berdiri jelas bukan pilihan dong ya, karena memperlihatkan bagaimana manusia memperlakukan hal natural yang terjadi dengan ketidakmampuan untuk berpikir mengambil keputusan tersebut. Meski terbilang paling primitif, jongkok adalah pilihan terbaik di tengah keterbatasan dan situasi. Akan tetapi duduk pun harus bisa dirangkul agar gagap dan gugup budaya itu bisa segera teratasi.
Oleh karena itu, orang dituntut untuk bisa menerima setiap bentuk kenyamanan dalam konteks akses buang hajat yang berbeda-beda. mau di kampung kek, kota kek, pinggir kali atau gedung mewah ya sesuaikan dengan tempat yang ada. Masa iya sudah ada yang duduk kemudian milih posisi jongkok di atasnya? Atau sebaliknya, malah pengen milih duduk di atas toilet jongkok? Lagi pula, suka atau tidak wajah manusia nggak berubah dengan posisi apapun. Situ mau ngaku cantik ganteng keren, begitu mules toh ekspresi wajah bisa jauh lebih tidak mengenakkan. Mau duduk atau jongkok sambil main ponsel mahal, toh bau juga. Coba aja.