Kalau ingat pelajaran biologi dulu, parasit adalah makhluk yang hidupnya menumpang kepada makhluk hidup lain. Entah binatang atau tumbuhan benalu. Parasitisme dalam manusia juga kerap terjadi. Bahkan sebenarnya wajar saja, karena itu mekanisme pertahanan hidup yang paling mudah. Meski demikian, manusia di dalam hidupnya harus bisa survive alias selamat. Selamat untuk bisa tetap hidup, sekaligus juga mengembangkan diri agar selama hidup bisa tetap menjadi maksimal terisi baik secara pengetahuan, moral hingga material. Sebab tidak ada orang yang cukup secara materi, tetapi kepalanya kosong. Atau memenuhi isi kepala, tapi masih kelaparan. Setiap kesempatan harus dilihat, dicerna dan dipelajari sebelum diambil. Kenapa butuh mengembangkan diri? Ini bukan pernyataan agar sekedar berbeda dari binatang, tetapi penekanan agar hidup manusia tetap menjadi otentik dan punya makna. Sebab percuma jika sudah lahir brojol, makan, berak, sekolah, kuliah, kawin, brojol lagi, sakit dan mati sebagai siklus orang kebanyakan. Apalagi jika mengaku terdidik dan cerdas, sayang banget kan?
Akan tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Oleh karena clingak-clinguk melihat kesempatan, banyak orang menjadi oportunis. Ini sebenarnya juga wajar saja, selama tidak merugikan orang lain. Tetapi ketika terjadi relasi dua orang atau lebih, dalam bentuk kerjasama sukarela atau mengikat, dalam hubungan kerja atau profesional, maka oportunisme pada level tertentu bisa menjadi merugikan. Mengapa? Sebab ada orang yang kemudian mencari keuntungan atas beban atau kerja orang lain dengan tidak terbuka, transparan atau adil. Relasi menjadi timpang karena yang satu memanfaatkan yang lain secara tidak terang-terangan. Kalaupun bersifat terbuka, bisa saja karena permakluman atau tekanan yang kelak akan menimbulkan ketidakpuasan.
Jika oportunis bekerja seringan mungkin, maka parasit pura-pura kerja.
Pada level yang lebih tinggi, ada pula orang yang memang bukan lagi sekedar memanfaatkan peluang atau kesempatan secara tertutup, tapi memang menjadi parasit. Jika oportunis bekerja seringan mungkin, maka parasit pura-pura kerja. Jika oportunis memanfaatkan peluang, maka parasit membuat situasi menjadi stagnan atau tidak bergerak sama sekali. Jika oportunis ongkang-ongkang kaki, maka parasit menghilang dan muncul jika ada penawaran yang menggiurkan. Jadi oportunisme yang kebablasan, atau memang tidak ada kontrol yang cukup kuat mengakibatkan manusia bisa menjadi parasit; numpang hidup, numpang makan tidur berak tanpa mikirin biaya.
Lantas, mengapa menjadi parasit? Pertama, bisa jadi dorongan internal seperti rasa malas, terbiasa enak, manja dan faktor-faktor yang secara habitual dibangun sejak kecil. Ketika menjadi dewasa secara fisik, maka gegara kebiasan tersebut secara mental menjadi tertinggal. Tidak pernah bisa memberi solusi, tidak pernah bisa mengatasi masalah dan tidak pernah bisa menjadikan hidup untuk mandiri. Semua tergantung orang lain. Dependensi semacam ini akhirnya menumpulkan kapasitasnya baik secara personal maupun sosial. Kedua, dorongan eksternal seperti lingkungan yang terlalu permisif, atau sebaliknya terlalu keras sehingga membuatnya tidak pernah mampu untuk memutuskan sendiri. Sudah biasa diberi, kok kenapa harus usaha minta?
Tapi bayangkan jika parasitisme melanda orang yang katakanlah sudah tidak lagi hidup sendiri. Punya anak, punya keluarga. Akhirnya ditopang juga oleh mereka. Pura-pura usaha, pura-pura kerja, seolah keringetan, butuh permakluman, tapi sebenarnya parasit semacam ini menipu diri sendiri, bukan orang lain. Padahal manusia punya kepala, tangan dan kaki. Okelah tangan dan kaki tidak dihitung, tapi isi kepala masih berharga selama bisa bernafas. Mengapa tidak digunakan? Sudah terlalu enak, katanya. jadi parasitisme akan menemui jalan buntu ketika satu persatu orang di sekelilingnya sudah menghilang. Entah karena mati, bosan ditipu atau menemukan yang lebih baik. Tinggal pilih.