Toleransi adalah kemampuan seseorang atau sekelompok memperlakukan dan menerima orang lain atau kelompok lain yang berbeda. Perbedaan di sini bisa macam-macam. Ada yang mulai dari soal fisik, ada juga soal kognitif. Mulai dari warna kulit, bentuk, rasial, etnis, hingga soal mental, cara pikir, cara pandang bahkan keyakinan. Merumuskan perbedaan juga menjadi tidak mudah, meski dengan demikian dapat diketahui bahwa semua manusia berbeda. Setiap orang punya keunikan masing-masing. Eh, kalo semua unik lalu apa bedanya ya?
Lantas bagaimana pemahaman yang ideal untuk melihat, memahami dan menjalankan toleransi? Perspektif yang paling realitis adalah dengan menggunakan ide bahwa seseorang atau sekelompok yang berbeda tidaklah merugikan, merusak atau menghancurkan gagasan toleransi itu sendiri. Artinya, mereka yang berbeda haruslah mendapat perlakuan yang sama secara timbal balik dengan kelompok lainnya. Tentu saja ini tetap ada masalah. Pertama, ada isu mayoritas atau minoritas. Sejauh mana kelompok yang lebih banyak bisa menerima yang lebih kecil? Sejauh mana yang lebih kecil bisa diterima oleh yang lebih besar. Kedua, ada isu kuasa. Jika yang minoritas berkuasa, bisakah kemudian menoleransi nilai yang dipegang oleh yang lebih besar? Jika yang mayoritas berkuasa, bisakah ia tidak menindas yang kecil? Ketiga, ada isu soal persepsi dan target. Jika minoritas memegang peranan, bisakah kemudian ia memahami kerja yang dilakukan oleh mayoritas? Jika mayoritas memegang kendali, sejauh mana minoritas bisa berpartisipasi aktif? Bagaimana jika keduanya bertukar peran atau posisi, apakah masih sama?
The paradox of tolerance states that if a society is tolerant without limit, its ability to be tolerant is eventually seized or destroyed by the intolerant.
Jadi perspektif yang berbau utilitarian atau untung rugi sekalipun sebagai bentuk yang paling realistis tetap saja punya kekurangan. Mayoritas yang abai akan mengafirmasi atau menerima setiap tindakan minoritas yang dianggap merugikan. Demikian pula minoritas yang cuek, akan menganggap mayoritas sebagai kuda tunggangan. Ikut sajalah, yang penting sampai. Konteks ini bisa terjadi di dalam ruang besar seperti negara, mengecil ke level organisasi bahkan antar individu. Jadi, paradoks toleransi adalah jelas ketika sekelompok yang lebih besar mememiliki sifat toleran tanpa batas, maka kelompok atau masyarakat tersebut akan dihancurkan oleh yang lebih kecil. Penghancuran tersebut bisa dengan egoisme, apatisme, oportunisme, hingga kesengajaan untuk melakukan alih kendali. Sebaliknya, jika yang lebih kecil tidak diberi toleransi maka akan ada ketidakadilan, penindasan bahkan juga proses denaturalisasi seperti membuat yang lebih kecil harus menyerap dan menerima nilai yang lebih besar.
Maka, paradoks toleransi itu pada hakekatnya bisa membunuh secara perlahan, ketika digunakan oleh orang-orang yang beragenda dan perpandang sempit, entah minoritas atau mayoritas. Lama-lama jadi intoleran. Banyak orang yang toleransinya keterlaluan, menganggap bahwa semua harus diperlakukan sama tanpa pandang bulu. Padahal jelas tidak semua orang sama, terlebih motif, karakter dan kebiasaan. Dengan kata lain, tidak ada orang yang tidak memikirkan diri sendiri. Terlebih jika egoisme, apatisme, oportunisme, parasitisme menjadi kata kunci. Selain itu, banyak juga orang yang tidak intoleran. Menutup pintu bagi semua peluang. Seolah tidak boleh ada perbedaan. Ini juga langkah yang keliru, karena baik yang terlalu toleran dan intoleran menganggap semua adalah sama. Ujungnya ya bermuara pada rusaknya toleransi itu sendiri.
Sementara yang menjadi penumpang gelap toleransi justru bisa menikmati ini. Dengan dalih sebagai orang yang harus dikasihani, diakomodasi atau fasilitasi, ada juga yang justru menggunakannya sebagai kesempatan. Bayangkan jika orang lain sibuk berjuang, dia cuma duduk manis ngopi saja, sambil bilang maaf eike lagi sibuk nih. Atau kalau pun berpartisipasi ya setengah-setengah; banyak cerita, klaim doang nggak bikin apa-apa juga.
Itulah sebabnya toleransi butuh kecermatan, bukan sekedar gagasan naif membuka pintu lebar-lebar, tetapi juga bukan antipati dengan menutup rapat-rapat. Sebab tidak ada orang suci yang bisa memperbolehkan atau mengiyakan segala hal. Kalo ada, dia juga sudah mati. Di era penuh sikut-sikutan, ada kalanya harus bisa memberi peluang, ada waktunya juga untuk tutup pintu sebentar. Gitu kan?