Seringkali di dalam media sosial seperti Facebook atau Instagram, banyak orang yang merasa perlu memamerkan kemesraan, baik terhadap pasangan seperti suami istri, keluarga atau kerabat. Dalam batas tertentu hal tersebut adalah wajar. Namanya juga media sosial, tempatnya orang pamer kan? Sama seperti foto liburan yang dipajang berulang-ulang itu. Perginya sekali, tapi foto bisa dicicil unggah sampe berbulan-bulan bahkan tahun berikutnya.
Akan tetapi segala sesuatu yang berlebihan, jelas nggak bagus. Seperti halnya negasi bertubi-tubi adalah afirmasi terselubung. Bilang nggak mati-matian eh taunya hiya ho'oh. Atau sebaliknya dalam kasus ini, afirmasi bertubi-tubi adalah negasi terselubung. Niatnya mau pamer habis-habisan ternyata banyak menyimpan segudang masalah.Lho, kok masalah? Sebab namanya juga media sosial. Apapun yang berlebihan adalah upaya penggambaran citra superfisial, alias di atas permukaan atau kulit-kulitnya doang. Majang foto mesra sama lakik atau bini, biar dibilang pasangan ideal atau serasi. Benarkah begitu? nggak juga. Seperti halnya masang foto kemesraan bareng anak bilang dibilang bapak atau ibu yang baik. Benarkah begitu? Nggak juga. Bisa jadi malah sebenarnya sering ribut, keluarga pisah atau memang nggak akur.
Pendapat seperti itu dibuktikan oleh banyak penelitian ilmiah berkaitan dengan relationship di media sosial. Salah satunya, adalah yang dilakukan oleh Lydia F. Emery dari Northwestern University dalam naskah Do We Look Happy? Perception of Romantic Quality on Facebook (2014) dengan survei terhadap 108 pasangan di Kanada. Hal yang senada juga ditunjukkan melalui thesis oleh Kaitlyn Gantz yang berjudul Social Networking Site Use As A Predictor Of Relationhip Satisfactoion, Self-Esteem, And Social Comparison Orientation (2020). Intinya adalah semakin sering pamer, memang dapat dipastikan bahwa hubungan yang ada tidak luput dari masalah yang ingin ditutupi.
Kok bisa? Ada banyak alasan kenapa pasangan atau orang yang nggak bahagia demen pamer soal hubungan di media sosial. Pertama, upaya tersebut bukan saja untuk mencoba meyakinkan orang lain bahwa mereka bahagia tetapi juga meyakinkan diri sendiri kalo bener-bener bahagia. Ya wajar sih, sebab di tengah relasi yang kacau, paling tidak harus membangun harapan meski cuma bersifat superfisial. Kedua, ada kecenderungan narsisistik dan psikopatik terhadap foto-foto yang diedit dan ditampilkan di media sosial. Pendapat ini nggak main-main, sebab sebagian orang bisa melihat bentuk kejujuran sebuah presentasi visual mulai dari raut muka dan karakter yang ditampilkan. Mana senyum yang polos, senyum yang dibuat-buat atau tidak ada ekspresi sama sekali, jelas bisa kelihatan dong.
Ketiga, orang yang beneran bahagia sama sekali nggak terganggu dengan apa yang ada di media sosial. Mau ada celoteh apa kek toh nggak semua perlu ditanggapi. Jika ada perdebatan apapun, terbiasa untuk diselesaikan secara luring atau offline. Lah, ngapain juga brisik di medsos untuk hal-hal yang bersifat personal. Kebalikannya, mereka yang tidak bahagia akan cenderung memamerkan kemesraan, harmoni atau impresi terhadap hal yang seolah positif di media sosial. Dengan kata lain, masih butuh pengakuan atau validasi dari orang lain sebagai penggambaran citra baik. Buat apa? Sebab ada perasaan insecure ata tidak aman yang menghantui. Kenyataan yang ada tidak seindah apa yang ditampilkan pastinya.
Kondisi semacam itu disebut dengan Relationship Contigent Self-Esteem (RSCE), yakni bentuk tidak sehat dari rasa percaya diri yang rendah terhadap dinamika hubungan yang sedang berjalan. Orang yang nggak pede akan cenderung menggunakan media sosial untuk memamerkan hubungan yang ada, membuat orang lain iri, atau bahkan sebenarnya memata-matai orang lain. Semakin minder, maka kebutuhan untuk pamer jadi semakin tinggi untuk mnyatakan bahwa relasi mereka baik-baik saja dan dengan demikian, mereka juga baik-baik saja. Ini lucu sih, karena banyak di antara yang minderan kayak gini malah nggak temenan dengan satu pihak seperti pasangan atau keluarga dekat, tapi cenderung mengeksploitasi relasi yang lain seolah sudah paling bahagia dan mesra. Satu pintu dibuka habis-habisan, satu pintu lainnya ditutup rapat-rapat.
“Half the pain in human life comes from gazing in mirrors.” ~ Marty Rubin
Sementara orang yang beneran bahagia nggak akan punya sesuatu untuk dibuktikan di depan publik. Buat apa? Kayak lu ngasih makan gue aja. Ngasih makan pake opini juga nggak bakalan kenyang kan. Jadi daripada bikin marah, depresi, atau kecewa, maka penggunaan media sosial adalah sedapat mungkin bisa terkontrol dengan baik. Unggah foto itu wajar, tapi narasi berlebihan yang mencoba untuk meyakinkan orang lain tentang sebuah hubungan juga nggak ada bagus-bagusnya juga buat dipamerkan. Itu sama kayak pamer masalah di medsos; dari sepuluh yang tau, hanya satu yang peduli, tiga tertawa dan sisanya nyukurin. Selama tidak berlebihan, tidak dibebani agenda untuk memberi impresi sok positif ya sebenarnya baik-baik aja. Atau memang lagi tidak baik? Well, keep it to yourself lah.