Buat sebagi masyarakat di Jawa, burung Kedasih (cuculus merulinus) dianggap memiliki mitos tersendiri yang cukup menakutkan. Konon katanya, burung ini kalo berkicau adalah pertanda jika akan ada kematian. Entah mengapa mitos itu begitu kuat sehingga burung Kedasih ditakuti, apalagi bisanya Kedasih akan berbunyi pada saat senja hari dengan kicauan yang cukup panjang. Apakah kicauannya bagus? Tidak juga. Selain panjang, suaranya pun monoton. Sama sekali tidak menarik. Mungkin itu juga sebabnya burung Kedasih tidak disukai oleh para penggemar dan pemelihara burung. Sebab dengan suara seperti itu malah justru bisa mempengaruhi dan merusak kicauan burung lainnya. Bayangkan jika suara yang monoton itu melengking berulang-ulang saat ia muncul di depan burung peliharaan di kandang. Burung yang berjenis bagus sekalipun bisa akan meniru atau malah takut mendengarnya. Konsekuensinya harga burung peliharaan yang terpengaruh oleh suara Kedasih menjadi anjlok.
Akan tetapi ketidaksukaan terhadap burung Kedasih atau sebutan populernya di Jawa yakni emprit gantil, bukan saja karena dianggap menakutkan. Burung ini juga punya tabiat yang dianggap terbilang cukup jahat dan merugikan. Pertama, ia termasuk jenis burung yang bersifat parasit alias tidak pernah membuat sarang sendiri. Sarang yang didapat adalah dengan menyerobot milik orang lain. begitu menemukan sarang yang cocok, maka ia kan membajaknya dan membuang telur-telur milik burung si empunya sarang. Kemudian burung Kedasih akan bersarang di situ. Kalau pun tidak sempat membuang, maka anak Kedasih yang menetas di sarang itu akan menyingkirkan anak burung lain. Kedua, ketika anak Kedasih menetas maka ia akan meminta makan secara paksa kepada burung si pemilik sarang. Burung ini yang dalam bahasa Sunda disebut cirit uncuing kemudian akan hidup menyendiri, bertumbuh besar dan kembali berkembang biak dengan membajak sarang milik burung lain. Ini tentunya berbeda dengan umumnya burung yang hidup berkelompok. Burung Kedasih adalah parasit penyendiri yang mengambil keuntungan dari burung lain.
Tapi benarkah mitos tersebut? Burung Kedasih memang bukan termasuk burung dengan koloni tersendiri. Menemukan burung Kedasih sebenarnya termasuk langka. Sebab dengan tabiatnya yang penyendiri dan tidak mampu membuat sarang sendiri, membuat naluri survivalnya tinggi. Betapa tidak, ia harus mampu menemukan sarang burung lain untuk menaruh telurnya dan memantau hingga anak Kedasih menetas dan tumbuh. Dengan proses semacam itulah maka ia dapat dikatakan menjadi cukup agresif dan membuat burung lain insecure. Oleh karenanya burung Kedasih tidak disukai bukan saja oleh burung lain tetapi juga manusia. Maka tidak mengherankan jika burung Kedasih semakin tidak pouler dan mitos soal suara kematian menjadi alasan tersendiri untuk membasminya.
Dapat dikatakan bahwa mitos tentang suara kematian adalah tidak benar. Itu muncul gegara burung kedasih dianggap hama parasit yang merugikan. Justru tabiat burung Kedasih yang membuatnya kini semakin nyaris sulit ditemukan. Bayangkan saja, sudah tukang palak, maunya gratisan, maksa, nggak berteman, tapi masih pengen untung dengan nebeng yang lain. Nah, apakah ada manusia dengan perilaku persis burung Kedasih? Banyak. Seringkali di dalam habitat homo sapiens ada orang-orang yang tipikal semacam itu. Nebeng dan dibantu pun masih bisa nelikung. Lebih parah lagi, suaranya pun juga jh lebih ancur ketimbang burung Kedasih. Kalo burung tersebut berkicau panjang dan monoton, maka manusia cukup dengan berkata 'bagi dong", "pinjem ya", "minta deh'. Itu jelas mengerikan buat orang lain. Apalagi tabiat parasit semacam itu tidak pernah diimbangi dengan empati seperti memberi balik. hanya mampu menerima dan menadah tangan saja. Jika burung Kedasih masih bisa ngototan, manusia cenderung play victim. Dah kayak paling suci terus dinodai begitu saja.
Itulah sebabnya manusia bisa lebih berbahaya dibandingkan burung atau hewan. Perasaan insecure yang kemudian diperlihatkan malah bisa ditafsirkan sebagai bentuk kecemburuan, sirik atau bahkan kompetisi yang nggak jelas juntrungannya. Di dalam hidup bermasyarakat, wajar saja jika ada yang ingin kelihatan tampil lebih berhasil, lebih sukses dan lebih berpunya ketimbang yang lain. Apalagi keinginan semacam itu didapat dari hasrat tidak mau kalah dari siapapun. Hanya saja, untuk bisa kesana haruslah ada upaya yang dijalankan, harga yang dibayar dan usaha yang dibuat. Dengan kata lain, modal dikit nape kalo mau enakan. Masa iya minta atau minjem mulu. Padahal apa yang dipamerin seolah sudah bisa mencapai titik itu.
"Man is the only animal which esteems itself rich in proportion to the number and voracity of its parasites." ~George Bernard Shaw
Menjadi burung Kedasih jelas tidak menyenangkan. Naluri survival yang ada dengan memaksa burung lain itulah yang kemudian membuatnya tidak populer sehingga diburu bahkan kalo bisa dimusnahkan, terlebih dengan mitos yang menyelubunginya. Selain itu, nyaris pula tidak ada kebaikan yang bisa dipelajari dan dipahami sebagai contoh. Paling banter ya soal ngotot dan ngeyelnya bertahan hidup di atas sarang burung lain. Bisakah jadi contoh? Menjadi manusia parasit juga lebih tidak menyenangkan. Suara tak sebagus Kedasih, tak juga punya asih. Mencoba membuat reputasi sebagus mungkin dengan pamer, tapi karakter tidak pernah dibangun dan malah merugikan orang lain. Alih-alih pada terkesan, justru malah pada jijik dan muak dengan kebiasaan buruk semacam itu. Tau-tau dislepet pake ketapel. Bisa benjol kan?