broken image
broken image
broken image

Dunia Si Ferdot

  • Headline
  • About Me
  • My Books
  • My Blog
  • My Gallery
  • Contact Me
  • …  
    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    broken image
    broken image
    broken image

    Dunia Si Ferdot

    • Headline
    • About Me
    • My Books
    • My Blog
    • My Gallery
    • Contact Me
    • …  
      • Headline
      • About Me
      • My Books
      • My Blog
      • My Gallery
      • Contact Me
      broken image

      Menjadi Kaya Itu Perlu

      · Renungan

      Ketika masih hidup di alam dunia yang cuma sebentar ini lantaran waktu tak akan terasa terus berjalan, maka menjadi kaya adalah sebuah kewajiban. Pernyataan seperti itu punya nilai kebenaran tersendiri, mengingat definisi kaya adalah sangat luas. Kaya tidak melulu sebatas uang. Kaya tidak hanya bicara soal pencapaian. Kaya adalah kesempatan yang dimiliki orang yang notabene berbeda-beda dalam setiap kelahiran. Dengan demikian, kaya adalah beranjak dari pola pikir, cara, intensitas, perilaku, mental dan tujuan seseorang yang kemudian berpengaruh tidak hanya pada dirinya tetapi juga orang lain. Maka menjadi kaya adalah bukan untuk sekedar benefit diri sendiri tetapi juga lingkungan terdekat atau terkecil dan kemudian meluas kepada lainnya.

      Akan tetapi pemahaman tentang bagaimana menjadi kaya itu sangatlah terbatas. Ada banyak distorsi yang kemudian membuat definisinya sendiri menjadi sempit. Kaya hanya identik dengan uang, materi, properti atau sekedar kepemilikan. Kaya hanya dipandang cuma jadi tujuan, sebab disangka tidak penting untuk masalah cara apalagi pola pikir. Kaya menjadi sesuatu yang mutlak untuk diperlihatkan sebagai sebuah hasil dari tujuan yang tercapai. Kaya memberi deskripsi soal kepemilikan dalam wujud kemewahan yang harus dipamerkan. Lihat saja, di dunia saat ini banyak orang yang mendadak kaya entah karena menipu, atau memperolenya dengan cara instan. Pamer jadi keharusan sebagai identitas semu.

      Konsekuensinya, banyak orang lain kemudian menjadi jijik dan menganggap kekayaan adalah sesuatu yang harus hindari karena banyak godaan. Pendapat ini jadi wajar mengingat contoh-contoh yang kerap ditampilkan, adalah kekayaan palsu macam demikian. Sudah instan, pamer eh kriminal pula. Maka banyak orang yang kemudian memilih untuk menolak kekayaan, lebih mengutamakan yang konon adalah pencapaian spiritual dan sebagian lagi justru bertahan untuk menjadi biasa-biasa aja. Lah, bukankah apa yang kita jalani sejak lahir itu adalah ssuatu yang luar biasa? Terus ngapain jadi biasa doang?

       

      “There are people who have money and people who are rich.”~ Coco Chanel

       

      Oleh karena itu beberapa mitos mengenai kekayaan itu harus dibongkar terlebih dahulu agar orang paham bahwa menjadi kaya adalah sebuah pencapaian tertentu yang punya nilai tidak saja mendalam tetapi meluas pada diri manusia. Pertama, kaya tidak identik dengan uang sebagai tujuan. Uang adalah sarana yang harus bisa diberdayakan secara maksimal. Maka menjadi kaya bukan soal memiliki seberapa banyak uang, tetapi bagaimana memperlakukan uang yang ada. Ini berarti pengelolaan keuangan harus bisa ketat dan efisien terlepas dari berapa banyak jumlah yang ada. Semisal, kalau punya uang kontan sepuluh juta dan butuh ponsel cerdas maka belilah yang seharga lima juta dan sisanya untuk kebutuhan yang berkaitan seperti aksesori, pulsa dan lainnya. Itu lebih baik dibandingkan kemudian memilih ponsel dengan harga dua puluh juta dan harus mencicil. Kalaupun butuh yang seharga lebih dari sepuluh juta, perhitungkan pula nilai yang terlihat seperti adakah kegunaan yang bisa diberdayakan sebagai sebuah investasi? Dalam perspektif ini, titik terendah adalah nilai guna sedangkan titik tertinggi adalah impresi. Itulah sebabnya ada beberapa profesi yang high profile seperti pengacara, artis, konsultan dan jenis yang memang memperlihatkan impresi untuk tujuan profesional. Kesalahan besar adalah membawa impresi itu keluar pekerjaan, dimaknai secara pribadi dan ditiru oleh orang lain. Awalnya pake jam tangan mahal atau mobil mewah yang merupakan properti pekerjaan atau kantor. Lalu saking ngilernya kemudian memaksakan diri untuk memiliki impresi kemewahan profesi itu jadi obsesi pribadi. Buyar dong.  

      Kedua, kaya tidak sama dengan kemewahan. Orang kaya sungguhan, seberapa pun jumlah duitnya tidak akan pernah pamer. Semua pembayaran kalo bisa dilakukan dengan kontan atau debit. Sebab itu adalah jumlah nyata yang bisa dikelola. Maka nggak heran jika orang kaya beneran akan selalu berhitung soal spending atau pengeluaran. Sebaliknya, mereka yang pura-pura, berlagak kaya akan flexing habis-habisan dengan uang yang bukan miliknya. Orang kaya tidak akan bergantung kepada kartu kredit yang menurut mereka cuma bikin gemuk perbankan dengan iuran tahunan dan biaya segala macam. Ini berbanding terbalik dengan kelas menengah yang dompetnya tebal berisi segala kartu kredit dan kebingungan ketika harus membayar di kasir lantaran banyak pula kartunya yang ditolak. Jadi semakin jelas bahwa kaya itu bukan seberapa yang dipunya, tapi bagaimana menghabiskan apa yang dipegang.

      Ketiga, kaya dalam konteks kepemilikan uang atau properti hanyalah sebagian kecil dari kekayaan yang harus dimiliki. Kekayaan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan untuk menjalin dan memelihara jejaring relasi, kemampuan untuk melihat peluang dan kemampuan untuk memanifestasikan kekayaan sebagai prioritas diri. Tidak semua orang mampu menjalin dan memelihara relasi atau perkawanan secara strategis ataupun taktis. Ada juga yang hanya cuma jadi oportunis lantaran berpikir berteman hanya untuk kepentingan sesaat. Ada juga yang merasa nggak butuh jejaring sebab kaya datang sebagai warisan. 

      Demikian pula dalam melihat peluang. Tidak semua orang bisa membaca kesempatan yang datang sebanding dengan keahlian yang dimiliki. Semisal ngeluh sudah berusaha sejak lama tapi hasilnya gitu-gitu aja, padahal dia lupa karena sikap ketus terhadap orang yang datang atau pelayanan buruk terhadap pembeli juga punya kontribusi terhadap apa yang ingin dihasilkan. Selain itu prioritas diri juga penting. Jika sudah paham bahwa ada peluang yang bisa diraih sendirian, ngapain pula bercampur dengan orang lain yang tidak punya pandangan sama? Mau menjadi elang kok malah sibuk ngurusin sekawanan ayam. Jadilah berhasil dulu, baru kemudian punya prioritas terhadap orang lain.

      Itulah sebabnya menjadi kaya adalah penting. Kalo cuma sekedar punya duit sebanyak-banyaknya, belum tentu jadi kaya. Nggak punya duit sudah pasti miskin. Akan tetapi pegang duit banyak pun juga belum tentu bisa disebut kaya. Sebab kaya adalah privilese, itu ada benarnya. Kaya adalah soal mental dan bukan materi doang. Nggak semua orang bisa demikian. Mau jadi kaya? Kelola isi dompet baik-baik, nggak usah tengil dan berbaik sama semua orang. Lakukan sampe lu dikejar duit, bukan lu ngejar duit. Usaha mah, pasti. Itu baru crazy rich sungguhan. jangan kayak sekarang; udah crazy, eh rich juga nggak. Bapuk.

       

      Subscribe
      Previous
      Kafilah Mengonggong, Anjing Berlalu
      Next
      Membuang Emas, Mengejar Loyang
       Return to site
      strikingly iconPowered by Strikingly
      Cookie Use
      We use cookies to improve browsing experience, security, and data collection. By accepting, you agree to the use of cookies for advertising and analytics. You can change your cookie settings at any time. Learn More
      Accept all
      Settings
      Decline All
      Cookie Settings
      Necessary Cookies
      These cookies enable core functionality such as security, network management, and accessibility. These cookies can’t be switched off.
      Analytics Cookies
      These cookies help us better understand how visitors interact with our website and help us discover errors.
      Preferences Cookies
      These cookies allow the website to remember choices you've made to provide enhanced functionality and personalization.
      Save