Semua orang di dalam hidupnya sudah tentu pernah berbuat salah. Konsekuensi dari kesalahan jelas ada dua; pertama yakni minta maaf dan kedua, tidak mengulangi kembali apa yang pernah dibuatnya. Akan tetapi buat sebagian orang, minta maaf apalagi datang dari lubuk hati yang paling dalam itu sangat sulit. Lidah berasa kelu hanya untuk mengatakan tiga kata yang ditunggu-tunggu. Kok bisa? Maka nggak heran ketika terjadi konflik atau perseteruan yang paling sepele sekali pun, minta maaf jadi tindakan yang dianggap mahal sehingga apa yang terjadi malah memburuk. Urusan bisa jadi bertele-tele dan melebar kemana-mana lantaran maaf tak kunjung diucapkan.
Mengapa hal semacam itu bisa terjadi? Mengapa sulit mengucapkan kata "saya minta maaf"? Pertama, ada alasan kebiasaan yang berkaitan dengan budaya yang tidak mudah untuk mengekspresikan perasaan. Ini biasanya dialami oleh mereka yang dididik secara keras di dalam keluarga sehingga ekspresi seperti suka, kecewa, atau marah tidak mudah dilakukan secara verbal maupun tindakan. Orang tua di dalam keluarga ini mengajar anaknya untuk tidak dengan mudah menyatakan perasaan baik seperti pelukan, bilang sayang apalagi minta maaf. Akhirnya generasi yang tumbuh bisa menjadi sekaku lap mobil kering. Hambar begitu doang. Kedua, maaf identik dengan resiko penolakan. Itu memalukan. Udah minta maaf, ntar malah dicuekin. Alhasil jadi enggan untuk memulai terlebih dahulu. Padahal urusan minta maaf itu penting di dalam keluarga. Apalagi lelaki beristri itu wajib minta maaf, terlepas dia benar satau salah dianggap nggak relevan. Iye kan?
Ketiga, dengan demikian maaf jadi dikaitkan dengan gengsi. Orang yang minta maaf dianggap lemah, nggak kompeten, emang salah, nggak tangguh dan berujung memalukan. kembali lagi kepada didikan keluarga. Orang tua yang secara keras mengkritik anaknya juga tidak akan pernah keluar kata maaf. Sebab apa yang dilakukan sudah dianggap sebagai tugas atau kewajiban yang memang menjadi keharusan. Konsekuensinya jika si anak tumbuh besar maka ia akan dengan mudah untuk menghindari kesalahan yang sudah dilakukan. Sibuk cari pembenaran dan menyangkal agar tidak kelihatan lemah. Logika yang kemudian terbangun adalah kalo secara konsisten mengaku tidak salah meski sebenarnya salah, maka itu sama dengan menyatakan tidak terjadi terjadi apa-apa dan orang lain harus bisa menerimanya. Dengan kata lain, orang yang menolak minta maaf adalah orang yang benar.
Itulah sebabnya mereka yang menyangkal kesalahan, menolak minta maaf, umumnya berujung kepada tindakan berupa menyalahkan orang lain. Cari kambing item lah kira-kira. Di sini kemudian persoalan menjadi semakin melebar. Udah salah, kagak mau ngaku, malah nuduh orang. Akhirnya masalah yang tadinya tertuju kepada dirinya, diharapkan bisa beralih kepada orang lain. Itu namanya pengalihan isu. Tapi hal semacam ini sering terjadi. Sama kayak orang berutang yang awalnya melas-melas minta dibantu, ketika sudah waktunya bayar malah ngeles nggak karuan dan berasa dizalimi. Keterlaluan jadinya.
“Apologizing does not always mean you're wrong and the other person is right. It just means you value your relationship more than your ego.” ~ Mark Matthews
Jadi urusan minta maaf itu bukan soal sepele. Sejak awal, orang harus terbiasa sepenuh hati melatih diri untuk benar-benar bisa minta maaf secara tulus. Meski dirinya tidak pernah dididik untuk bisa ekspresif, namun tidak ada salahnya sebagai orang yang berpengetahuan dan berperasaan untuk bisa secara tulus menyatakan. Minta maaf tidaklah menjadikan seseorang lemah, tidak kompeten, atau cemen. Sebaliknya minta maaf adalah cara yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa diri ini punya kemampuan untuk meminta sekaligus memberi pengampunan. Minta maaf adalah menunjukkan kepedulian terutama kepada orang-orang terdekat, sebagai wujud tanggung jawab untuk menuntaskan atau menyelesaikan permasalahan. Sudah pasti hanya orang semacam itulah yang bisa dipercaya dan memberi rasa aman serta nyaman bagi sekelilingnya. Apakah situ seperti demikian? Atau jangan-jangan malah diam seribu bahasa ketika salah. Berarti ente lebih mengutamakan ego ketimbang menghargai hubungan dengan orang lain. Cemen ah.