Kolonialisme atau penjajahan adalah pil beracun mematikan hingga abad ke-20 bagi bangsa-bangsa yang harus menelannya. Seperti halnya Indonesia yang cukup lama dijajah oleh Belanda, kemudian disusul secara bergantian oleh Inggris dan Jepang dalam waktu yang relatif lebih singkat. Bagi bangsa atau orang terjajah, tidak ada perbandingan yang lebih baik terhadap siapapun yang menjajahnya. Orang bilang, dijajah negara nganu lebih manusiawi dibandingkan ngono. Itu jelas tidak benar, sebab kolonialisme selalu membawa dampak buruk tidak saja kerugian secara material tapi juga imaterial seperti alam pikir hingga perilaku.
Nusantara sebagai rangkaian kepulauan yang banyak terdiri dari kerajaan, kadipaten, kedatuan dan sebagainya dijajah Belanda sejak 1801 setelah negara itu mengambil alih dari serikat dagang VOC yang bangkrut gegara korupsi. Tentu saja sebagai negara, urusan Belanda bukan sekedar dagang, monopoli, adu domba kompetitor atau diplomasi lewat jual senjata doang. Kerajaan dan pemerintah Belanda sebagai entitas terpisah, punya kepentingan sama yang lebih besar yakni soal penguasaan teritorital. Maka dimulailah pendudukan melalui bujuk rayu hingga peperangan yang menguras biaya. Akibatnya banyak konflik yang kemudian menghasilkan pampasan perang dan hasil jarahan yang tak ternilai. Istilah yang digunakan saat itu adalah official looting atau penjarahan resmi yang sah boleh dilakukan karena dalam situasi perang. Itulah sebabnya banyak benda berharga yang mengalir ke Belanda sebagai hasil jarahan seperti meriam dari Aceh hingga perhiasan dari Makassar. Hasil jarahan itu dibawa dan disimpan di berbagai museum milik negara, kerajaan hingga pribadi sampai saat ini.
Demikian pula dengan kolonialisme Inggris. Tentu saja Inggris terkenal saat menyerbu Keraton Jogjakarta semasa pemerintahan Hamengkubuwono II di tahun 1812 dalam peristiwa Geger Sepehi. Pasukan Sepoy asal India bersama dengan pasukan lokal menyerbu dan menjarah Keraton, mengangkut semua dan konon hanya menyisakan beberapa Al-Qur'an saja. Semasa pemerintahan Inggris dibawah Raffles juga tetap melanjutkan tradisi kolonialisme dengan mengangkut berbagai benda bersejarah sebagai koleksi seperti arca dan prasasti yang diangkut ke negara asal. Ketika kekuasaan kembali ke tangan Belanda, tradisi itu juga tidak berubah. Bahkan ada banyak pencurian hingga barter barang yang terus berlanjut. Semisal kepala Budha di stupa Borobudur yang dipotong dan kemudian dibarter sebagai oleh-oleh dengan patung Gajah pemberian Raja Thailand. Patung Gajah itu masih ada di halaman depan Museum Nasional Indonesia yang lebih populer disebut Museum Gajah.
Bagaimana dengan penjajahan Jepang? Meski hanya terjadi dalam waktu singkat selama tiga setengah tahun, penjajahan ini tergolong sangat mengena di hati orang Indonesia. Pertama, awalnya Jepang dianggap sebagai pembebas rakyat dari kolonialisme Barat. Jadi wajar saja pas datang sangat dinantikan dan banyak pula yang memilih bekerjasama dengan Jepang. Jadi hingga saat ini kerjasama seperti mendorong orang menjadi Romusha atau pekerjapaksa serta menyerahkan harta benda kepada Jepang tetap menjadi kontroversi. Apakah sebagian bapak bangsa pendiri Republik ini adalah pahlawan kemerdekaan atau kolaborator antek Jepang? Silahkan menilai sendiri. Kedua, oleh karena keterbatasan sumber daya di saat perang, maka Jepang mengambil begitu banyak dari Indonesia. Tidak saja hasil bumi dan tekstil, tetapi juga nyaris semua bahan logam hingga apapun yang dianggap berharga diangkut dan diboyong ke Jepang. Akibatnya rakyat menjadi begitu miskin dan menderita. Kolonialisme Jepang memberi definisi tentang seburuk-buruknya penjajahan. Orang setengah telanjang, wabah dan busung lapar terjadi di mana-mana. Ketiga, oleh karena mengena di hati maka warisan kolonialisme Jepang masih ada yang bertahan di abad ke-20 bahkan hingga saat ini. Misalnya mulai penggunaan dasi di bemper mobil, senam pagi, sistem RT/RW, baris berbaris, pendidikan spartan main gampar, hingga mental fasis militeristik adalah nilai dan pola yang ditanamkan dan masih berlaku.
“Colonialism hardly ever exploits the whole of a country. It contents itself with bringing to light the natural resources, which it extracts, and exports to meet the needs of the mother country's industries, thereby allowing certain sectors of the colony to become relatively rich. But the rest of the colony follows its path of under-development and poverty, or at all events sinks into it more deeply.” ~Frantz Fanon, The Wretched of the Earth
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efek korosif dari penjajahan masih tetap ada hingga saat ini. Dalam periode tertentu, pernah pula orang asing yang masuk kategori warga negara penjajah diusir keluar Indonesia. Tentu saja ini nggak guna. Kebencian kok malah sama orang. Padahal begitu merdeka, yang harus dibenahi adalah pola pikir. Lantas adakah yang positif dari kolonialisme? Jika ada itu hanya menguntungkan pelaku dan mereka yang mau bekerjasama. Penaklukan itu tidak hanya dengan diplomasi kata tetapi juga pemaksaan budaya dan pendekatan senjata. Para kolaborator itu yang sudah ada sejak jaman Belanda bisa saja berdalih sebagai langkah strategis atau taktis untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi penjajah juga tidak tolol. Justru adu domba, membangun persaingan hingga konflik atas nama kesetiaan atau loyalitas adalah kartu yang tetap terus dimainkan. Selain itu, efek korosif dari penjajahan mulai dari korupsi, temen makan temen, hingga memperkaya diri sendiri adalah cerminan bagaimana taktik kolonial masih berlaku.
Contoh sederhana adalah karena desakan komunitas internasional, maka banyak negara bekas penjajah melalui pemerintahnya berniat untuk mengembalikan sebagian benda berharga yang dulu dijarah. Untuk kasus Indonesia, ada banyak benda semacam itu yang masih nangkring di luar negeri entah di tangan negara atau koleksi pribadi dan ada juga yang sudah dikembalikan seperti Keris Diponegoro. benda seperti Bendera Sisingamangaraja atau Keris bebebarap raja di Bali masih ada di sana. Tentu saja pengembalian itu akan membuat polemik. Pertama, mengapa dikembalikan? Bisa jadi museumnya bangkrut, butuh biaya perawatan tinggi dan hanya jadi beban sejarah. Kedua, jika dikembalikan maka siapa yang berhak menerima? Jika pemerintah negara Belanda yang mengembalikan, maka urusannya jelas dengan pemerintah Indonesia. masuk museum, habis perkara. Bagaimana jika pihak kerajaan atau pribadi? Harap dicatat bahwa Kerajaan Belanda adalah pihak yang paling males mengakui kedaulatan Republik dibandingkan pemerintah negaranya sendiri yang berbasis kabinet. jadi begitu ada isu mengenai pengembalian, yang di sini pun sudah ribut-ribut. Mulai dari soal keluarga pahlawan yang berasa berhak, saling klaim, hingga banyak pihak yang mulai cakar-cakaran. Padahal kalo sampe disini, bukan tidak mungkin barang itu bakal diduplikasi dan aslinya dijual. Udah banyak kejadian seperti itu.
Ah sudahlah, kolonialisme itu emang bikin berkarat. Butuh waktu lama untuk benar-benar bisa pulih, terutama bagaimana membersihkan dan menyehatkan alam pikir, perilaku dan aspek imaterial yang sudah lama hilang. Materi bisa diganti dan dikompensasi, tapi pikiran yang lenyap gegara penjajahan itu sulit dicari. Penjajahnya sudah lama pergi, tapi kelakuan orang habis dijajah itu persis seperti para anjing kehilangan tuan; udah kelaparan, saling gigit pula.