Meski banyak orang beranjak dewasa di sekitar kita, tapi di antaranya masih ada juga yang berjiwa kekanak-kanakan. Tubuh boleh menua, tapi mental tidak berubah. Persis kayak anak kecil. Kenapa bisa begitu? Ada banyak alasan berkaitan dengan penyebabnya, tapi umumnya beranjak dari pendidikan dan perlakuan saat usia dini yang berkaitan dengan pengelolaan emosi, empati dan perhatian yang didapat. Meleset sedikit, maka sudah besar akan ada kemungkinan untuk kemudian menjadi agresif hingga manipulatif.
Memangnya kenapa? Sebab perilaku tak sehat semacam itu akan membawa konsekuensi serius terhadap orang lain di sekitarnya. Entah rumah tangga, komunitas, bahkan relasi yang bersifat profesional sekalipun. Orang yang kekanakan akan tanpa sadar menunjukkan perilaku yang tidak menyenangkan. Kalau pun sadar, entah karena malu atau gengsi tidak akan dengan mudah menerima dan mengubahnya. Namanya juga udah gede, pikirnya ogah dong dinasehatin. Udah gitu erasa yakin benar karena tidak pernah ada yang menggubris selama ini.
Beberapa contoh perilaku yang berkaitan dengan sifat kekanakan antara lain adalah gampang baperan. Anak kecil selalu menuntut perhatian atau atensi yang luar biasa.Merasa harus dalam kenyamanan dua puluh empat jam terus menerus. Jika berkurang maka akan menangis dan merajuk. Tidak sedikit orang tua yang kemudian membujuk dan memenh permintaan semacam itu. Ketika dewasa dan pola ini tidak berubah, maka yang dilakukan adalah tetap sama; ngambeg dan gampang tersinggung. Hanya saja tindak yang dilakukan jelas bukan mewek, tapi justru menjadi agresif. Mulai dari balik punggung tapi tetap juga ngintip. Kadang melempar isu atau hinaan supaytetap dapat perhatian. Nah, perilaku agresi semacam ini kemudian yang menjadi bentuk perundungan, mulai secara verbal seperti body shaming, hingga sikap seperti pasif-agresif. Dengan kata lain, tindakan atas dasar mencari perhatian itu sebenarnya adalah mekanisme defensif yang lemah secara psikis. tetap saja berusaha mencari perhatian.
Sifat kekanakan yang membutuhkan perhatian, kemudian berkembang saat dewasa adalah tetap menjadi selalu ingin jadi pusat perhatian. Dinamika sosial dianggap hanya sebagai sebuah permainan dimana center of attention menjadi penting untuk bisa diraih. Harus bisa membuktikan sesuatu kepada siapa pun. Itu memang memungkinkan jika orang tersebut hidup di ekosistem atau habitat yang ia pahami dan kuasai. Padahal dunia nggak segede daun talas ye kan? Begitu di tempat lain tidak menjadi siapa-apa, egonya pun kesentil lagi. Bertambah pula dengan sikap manipulatif, menyalahkan orang lain dan tak belajar dari kesalahan.
Ada juga perilaku kekanakan seperti sikap kompetitif yang non produktif. Anak kecil kan nggak mau kalahan. Sebab konsep tentang bagaimana menang kalah hanya dipahami sebagai sebuah bentuk permainan yang harus dapat memuaskan hati. Gagasan soal mengalah, belum tentu sempat ditanam. Selain menyalahkan orang, diri sendiri harus bebas dari rasa salah. Dampaknya adalah ketika beranjak dewasa, maka semua harus bisa dimenangkan sebab itu adalah satu-satunya pembuktian tentang keberhasilan. Padahal bisa jadi sampai berumur, pencapaiannya ya tetap gitu-gitu doang. Nggak menghasilkan banyak. Tapi jadi iri ketika ada orang lain mampu berbuat lebih. Maka kompetisi yang dilakukan adalah sekedar pamer, tanpa pernah menunjukkan kualitas tertentu. Ujungnya tanpa sadar jadi membebani diri sendiri.
Dengan menunjukkan sikap kompetitif semacam itu, konsekuensinya adalah semakin jauh pula dari konsep kerjasama atau kolaborasi. Baginya, bekerjasama dengan orang lain adalah sejauh menguntungkan diri. Tidak ada pencapaian kolektif yang dianggap lebih besar dari hasil personal. Baru nongol kalo ada bau profit. Egois pastinya. Efek dari tindakan semacam ini adalah pengelolaan konflik yang buruk -plus baperan tentunya- dan ketidakmampuan untuk bekerja dengan orang lain. Oleh karena itu pameo yang mengatakan bahwa "orang yang punya pengalaman kerja secara struktural dan hirarkis, adalah sekurangnya orang yang punya pengalaman mengelola konflik dan kritik" itu ada benar juga. Bekerja dibawah dan membawahi orang lain butuh kedewasaan untuk bisa membuat komunikasi berproses, operasional tim berjalan, dinamika organisasi bergerak dan sebagainya.
“Maturity is a high price to pay for growing up.” ~ Tom Stoppard
Selain itu, terpenting dari efek tindakan kekanak-kanakan yang paling berasa saat dewasa adalah manajemen waktu dan keuangan. Sikap impulsif selalu menghancurkan perencanaan yang sudah dibuat dengan baik sekalipun. Maka munculah kebiasaan seperti menyepelekan waktu, menganggap rendah orang lain, mengecilkan janji, boros, bahkan nggak mempersiapkan ke depan secara matang. Baru nanti terkaget-kaget ketika situasi menjadi semakin cepat berubah dan dirinya tidak dibutuhkan lagi. Terlebih, jaman sehabis pandemi ini orang mulai merasakan dampak sosial ekonomi yang baru muncul. Hidup sudah pasti beranjak dari satu ketidaknyamanan ke ketidaknyamanan lain, persis seperti motto blog ini. Banyak yang jauh lebih muda, sigap dan dewasa merangsek dalam mencari kesempatan yang sama. Pilih mana? Jelas yang masih segerlah. Ngapain pilih yang tua kepedean nggak ada isinya dan baperan. Muda masih bisa diajarin. Uzur? dikasihtau malah sotoy. Kan nggak seru.