Salah satu pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga tetapi minim apresiasi adalah menjadi pembantu. Majas yang kemudian dalam bentuk amelioratif adalah asisten rumah tangga, sedangkan bentuk peyoratifnya sangat beragam mulai dari (1) babu yang berarti pengasuh anak, pembantu lelaki (2) jongos yang berasal dari bahasa Belanda jongen yang berati anak muda atau junior, (3) bedinde atau pengurus rumah tangga, hingga (4) pembokat atau pembantu dalam bahasa gaul sejak 1980an, dan lainnya. Mengapa banyak tenaga? Sebab pada umumnya pembantu rumah tangga memiliki rentang urusan kerja yang sangat luas dan tidak mengenal jam kerja. Aktivitas yang dilakukan umumnya adalah sejak sebelum majikan bangun hingga malam pun masih harus siap untuk mengerjakan sesuatu sebelum majikan tidur. Upah yang dibayar berdasarkan kesepakatan awal biasanya minimal, jauh di bawah upah buruh umumnya. Selain itu upah juga biasanya dipotong untuk komisi orang yang membawa atau calo. Upah bisa begitu rendah karena asumsi yang digunakan adalah pembantu bisa mendapatkan makan dan tempat tinggal gratis di rumah majikan tanpa keluar biaya lagi. Kompensasi untuk hal semacam itulah yang kemudian dianggap sebagai biaya tanggungan majikan, sehingga dengan kata lain untuk biaya hidup lainnya sudah dipotong dari itu. Padahal dalam prakteknya pun soal makan dan tempat tinggal bisa jadi jauh dari kata berkualitas. Selain itu menjadi pembantu juga tidak luput dari kekerasan domestik hingga seksual. Rata-rata usia di bawah umur dan tanpa pengalaman pula. Tidak ada perlindungan yang berarti bahkan majikan bisa menutupinya agar informasi tentang itu tidak menyebar keluar. Memang ada pula potensi lain seperti penipuan atau pencurian yang mengatasnamakan pembantu, sehingga pekerjaan seperti itu sebenarnya menjadi rawan karena faktor trust yang sulit didapat. terlebih jika hari raya dan memilih nggak kembali. Gimana emak-emak pada nggak puyeng kan?
Kenapa orang mau menjadi pembantu? Ini cerita yang sebenarnya cukup klise dan klasik sejak masa kolonial. Pada jaman itu, toean bekerja di gupermen atau swasta dan njonjah di rumah mengurus keluarga. Oleh karena lapis sosial kelas atas memiliki properti seperti rumah dan halaman yang cukup luas, maka butuh tenaga untuk bisa mengurusnya. maka lahirlah profesi mulai dari pengurus anak, tukang masak, supir, tukang kebun dan sebagainya. tenaga kerja yang terserap bisa saja 4 hingga 5 orang lebih. Apa yang terjadi pada kelas sosial tinggi di masa itu menimbulkan impresi selanjutnya kepada masyarakat soal kesuksesan dan kepemilikan. Maka tidaklah mengherankan jika sampai setelah merdeka hingga era Orde Baru, banyak keluarga yang kemudian mencitrakan diri dengan soal kesuksesan dan kepemilikan dengan rumah besar dan banyak orang yang bekerja untuk mengurus segala sesuatu di dalamnya. Jumlah pembantu bisa lebih dari satu orang. Tipikal datang dari desa karena urbanisasi dan untuk mencoba peruntungan mengenal dunia kota yang lebih ramai. Apalagi pada jaman itu, orang masih berpikir bahwa menjadi pembantu jauh lebih secure ketimbang memburu yang upahnya bisa relatif lebih besar tapi industri belum cukup merata.
Situasi semacam itu sebenarnya sudah berubah. Di jaman sekarang meski komposisi keluarga lebih kecil, memiliki rumah layak tambah sulit, pemerataan pembangunan relatif sudah lebih menyebar luas, upah pekerja sektor formal jauh lebih besar, kesempatan pendidikan lebih tinggi tapi kebutuhan akan pembantu masih tetap tinggi. Pasangan muda yang baru punya anak saja gerah butuh baby sitter. Alasannya pun bertambah, bahwa di jaman sekarang tuntutan ekonomi memaksa suami istri bekerja. Beda sama jaman di mana pemasukan cuma ngandelin toean kan? jadi kalo dua-duanya sibuk lantas siapa yang ngurus bayi, masak, nyuci jemur nyapu ngepel dan beres beres? Jiwa majikan jadi meronta-ronta. Sebab pola yang bisa dilakukan adalah dengan meniru generasi orang tua sebelumnya yang masih bisa punya rumah besar dengan banyak pembantu. Maka tidaklah mengherankan hingga menjelang pandemi, lapis sosial kelas menengah pun yang notabene rumah nggak gede-gede amat tetap membutuhkan pembantu. Lihat saja kalo ke mall di kota besar seperti Jakarta pada akhir pekan di jaman itu; isinya banyak pasangan muda, bawa kereta bayi dan bocah, diiringi pengasuh bayi dan supirnya nunggu di parkiran. Jika masuk resto, tuan dan nyonya bisa sibuk bercengkerama, pengasuh sibuk mengurus bayi. Ikut makan? Bisa jadi tidak. Kalo iya pun beberapa tempat juga menyediakan menu terpisah khusus untuk para 'suster' ini. Sungguh menyedihkan.
Tapi di situlah ngeheknya kelas menengah kita. Menganggap bahwa kebutuhan akan tenaga kerja dengan gaya yang sama tetaplah harus ada dari masa ke masa, sementara situasinya sudah berubah. Pilihan kerja untuk menjadi pembantu semakin sedikit dan hanya tersisa buat mereka yang dibawah umur, putus sekolah, terdesak situasi ekonomi, tidak punya keahlian, serta tidak menganggap bahwa menjadi pembantu adalah sebuah pekerjaan sungguh. Mana ada model pengabdian kayak jaman kolonial kan? Menjadi pekerja bidang domestik hanyalah batu loncatan sementara untuk memperoleh uang cepat dan setelah beberapa bulan mungkin pindah ke pekerjaan lain. Suka atau tidak, pada jaman begini orang butuh untuk terus meningkatkan kualitas dirinya. Maka jangan bayangkan menjadi pembantu sama seperti dulu bicara loyalitas atau pengabdian seumur hidup cuma bersih-bersih doang.
Oleh karena permintaan tetaplah tinggi, maka beberapa kompromi harus dilakukan. Apalagi dengan gonta ganti pembantu dianggap sebagai sebuah proses yang menyakitkan bagi majikan. Pada akhirnya, memang mereka yang tidak puya banyak pilihanlah yang kemudian mau jadi pembantu. Kemudian, perilaku dan kriteria yang berlaku pada ujungnya mengafirmasi adanya sebuah perbudakan modern yang terselubung. Udah masih bocah, kagak sekolah, nggak bisa apa-apa harus diajarin pula. Lebih konyol lagi, mereka yang menggunakan tenaga pembantu di bawah umur putus sekolah ini adalah orang-orang yang secara sosial ekonomi jauh lebih mapan. Asumsi soal adanya kesadaran dan empati bisa buyar. Padahal bisa jadi mereka pula yang teriak kencang soal HAM, penindasan, dan kripik renyah kemanusiaan lainnya. Pulang ke rumah, lain lagi ceritanya kalo panggil si mbak. Situasi semacam ini justru malah dianggap lumrah. banyak di antara kelas menengah mencari pembenaran bahwa merekalah tangan-tangan terpilih untuk menaikkan derajat seseorang. Bahkan di awal tahun 2000an, sempat beredar buku keluaran penerbit besar yang bertema tentang kiat memilih pembantu dan cara membuat si mbak nyaman betah dalam bekerja. Urusan perbabuan seolah jadi sesuatu yang harus given dan bisa diterima sebagai sebuah permakluman akan kebutuhan lestari dari masa ke masa.
Ini persoalan serius, sebab hingga saat ini RUU soal perlindungan pekerja rumah tangga sudah hampir 18 tahun mangkrak digantung di baleg DPR. Tidak ada payung hukum yang jelas selain UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan yang hanya mengatur sedikit soal pekerja domestik. Bicara soal upah di sektor ini sebenarnya sangat mengerikan. Sebab dengan jam kerja tiada batas, harus siap setiap saat, asumsi soal kompensasi makan dan tempat tinggal, upah mereka bisa sangat kecil. Misalnya saja pengasuh bayi tidak berpengalaman di Jakarta tahun 2021 adalah sekitar 1,8 hingga 2 juta Rupiah. Mereka yang berpengalaman paling banter juga 2,5 hingga 3 juta Rupiah. Itu pun tergantung negosiasi dan komisi yang diberikan baik melalui jasa yayasan atau perorangan. Itu baru soal upah, belum perlindungan lain seperti hak cuti, hak libur, ancaman kekerasan dan sebagainya.
“The tools to crush modern slavery exist, but the political will is lacking.”~ Sheryl WuDunn
Jadi meskipun situasi kehidupan dometik sudah berubah dengan modernisasi, entah mengapa naluri kolonial itu masih muncul. Padahal kalo di pikir, di belahan Barat sana pun pasangan muda yang bekerja pun masih bisa mengurus anak. Sibuk? Ada penitipan. Setiap akhir pekan bisa bareng-bareng bersihin rumah. Cuci? Ada mesin cuci kok. Tinggal masukin baju kotor. Panggil laundry juga bisa. Atau kalo di sini ya ngucek sendiri. Nyapu ngepel? Seluas apa sih tempat tinggal jaman sekarang? Anak mulai beranjak dewasa? Ya berilah tanggung jawab untuk mengurus dirinya masing-masing. belajar masak, menyetrika, beresin rumah itu adalah keahlian dan bukan beban. Kelak akan berguna saat tua nanti. Nah, berarti memang ada persoalan mental yang cukup besar di sini. Dengan semakin berubahnya jaman, mengapa pula urusan domestik dianggap rendah dan memalukan jika dilakukan sendiri? Artinya, banyak orang yang justru malah bermental malas dan enggan bertanggungjawab untuk melayani diri sendiri. Masih mimpi kayak dulu dilayani pembantu. Dulu waktu kecil jadi den sinyo makan masih disuapin sampe dikejar bibik yang tergopoh bawa piring. Paradigma yang sama dianggap masih berlaku dengan ketika sudah gede gantian mengejar si mbak buat segera beresin rumah dan nyuapin anaknya. Bayangkan jika RUU soal perlindungan PRT itu disahkan, apa nggak kebakaran jenggot tuh. Kelas menengah manja itu bisa ngamuk-ngamuk jadinya. Makanya, nggak heran tetap dibiarkan mangkrak. Sebab realitas kelas menengahnya tetap masih sama; masih butuh dilayani meski sebenarnya di luar sana ketika ngantor ya tetap aja jadi babu juga kan? Itulah mentalitas pembokat yang masih tumbuh dalam jiwa majikan.
Solusinya sih sudah terbayang. Pertama, pengesahan UU akan membuat perlindungan menjadi kuat dan idealnya penggunaan jasa tenaga untuk urusan pekerjaan domestik itu harus dibuat semahal mungkin. Toh jasa profesional lain juga mahal kan? kedua, dengan menjadi mahal, maka tuntutannya adalah dua sisi. Di satu sisi, mereka yang bekerja di lingkungan domestik harus haruslah punya keahlian yang kalo perlu bersertifikasi seperti juru masak, butler, cleaner atau fungsi lain berkaitan dengan house management. Jadi sekaligus menutup celah penggunaan tenaga tidak terlatih dan tidak terdidik, memperkecil peluang perbudakan modern, serta improvement terhadap sumber daya manusia yang ada. Dengan kata lain, urusan kerja domestik bisa menjadi sangat profesional. Apalagi setelah pandemi begini, jasa bersih rumah juga sudah mulai marak. Di sisi lain, membuat orang yang bepotensi jadi pemalas harus pikir dua tiga kali kalo menggunakan jasa adalah mahal dan berkualitas, ketimbang mau cari tenaga murah dan siap lepeh kapan aja. Kalo kagak ya angkat pantatlah kerjain sendiri.
Ketiga, secara perlahan, itu semua mengubah paradigma era kolonial yang masih berlangsung hingga sekarang. Lakik bini wajar dua-duanya kerja. Nggak ada lagi beban berat sebelah hanya istri saja yang mengurus rumah. Baik suami atau istri juga harus bisa meluangkan waktu buat urus rumah dan keluarga. Urus anak juga banyak alternatif lain, masa' iye apa-apa diserahin ke pembantu atau orang tua? Melibatkan anak untuk berpartisipasi dalam kerja domestik adalah wajar sekaligus memberi fungsi edukatif. Nggak ada yang nggak mungkin. Percuma merengek bilang nggak sempat. Itu sudah resiko. Hari gini masih malu pegang sapu? Muke lu jauh.