Ukuran sukses bagi siapapun adalah bersifat subyektif. Artinya, setiap orang punya definisi soal berhasil berikut maknanya masing-masing. Ada yang sudah puas dengan pencapaian tertentu, tetapi belum tentu bagi yang lain. Ada yang merasa harus mengejar mati-matian, namun itu tidak berlaku bagi yang lain. Tegasnya setiap orang pasti berbeda. Apalagi jika ukuran itu ditambah dengan kapasitas dan kualitas setiap orang. Latar belakang sosial, budaya, pendidikan, kebiasaan, preferensi dan lainnya akan membuat makna sukses tidaklah sama.
Meski demikian, sebuah kesuksesan tetap butuh syarat yang sama bagi siapapun. Ini yang kerap dilupakan banyak orang. Syarat pertama adalah, jangan pernah membebani diri dengan masa lalu. Sebab apa yang sudah terjadi entah baik apalagi buruk biasanya menjadi indikator keberanian dan keleluasaan untuk bertindak di masa sekarang. Ada trauma, pengalaman buruk, kenangan pahit, salah langkah, keliru pilih yang membuat orang menjadi berpikir ulang untuk mencoba sesuatu alternatif baru. Apalagi alternatif itu belum tentu ada hubungannya dengan yang sudah lewat. Lantas kapan bisa berubah dan maju, jika masa lalu menjadi beban. Apa yang sudah lewat, idealnya cuma jadi pelajaran. Harus ada keberanian mengubah cara, metode, pendekatan, skala dan waktu jika target tidak berubah. Pokoknya jangan jadi beban. Sekali lagi, jangan.
Kedua, jangan pernah membebani diri dengan pembuktian terhadap orang lain. Itu tindakan yang tidak perlu. Sebuah pilihan tentu saja punya konsekuensi, baik atau buruk. Masalahnya tidak semua orang menyadari bahwa pilihan itu harus ditanggung. Idealnya sebuah pilihan adalah hasil bentuk kesadaran diri. Sebuah tindakan atas pilihan yang didasari keinginan atau pembuktian terhadap orang lain itulah yang menjadi beban. Misalnya, buat apa membuktikan cinta kepada orang lain? Agar bisa diterima? Cintailah dirimu dengan sedemikian asyiknya, sampai kemudian orang lain yang mencarimu dan bukan sebaliknya. Buatlah sebuah kebiasaan, etos kerja dan sistem sehingga dirimu yang dicari dan dikejar uang, bukan malah mati-matian mengejar uang. Pembuktian yang berharap bisa diterima orang lain adalah sebatas reputasi yang bisa naik turun. Pembuktian bagi diri sendiri adalah pembangunan karakter yang sudah pasti bersifat permanen. Jadi buat apa minta diakui, jika itu bisa hilang begitu saja?
Terakhir adalah, jangan membebani diri dengan ekpektasi dan harapan orang lain. Semua orang pakai sepatu dengan model dan ukuran berbeda. Sepatumu ya hanya cocok dengan dirimu. Demikian juga orang lain. Ekspektasi dan harapan orang lain terkadang adalah refleksi ketidakmampuan diri mereka yang secara tidak langsung berharap agar dirimu bisa melakukan. Di situlah ketololan berlangsung kan? Sudah model beda, ukuran beda, masih percaya juga bahwa hasil jalan dan larinya juga sama. Padahal itu sepatu kesempitan atau terlalu besar, sehingga menyulitkan diri sendiri. Maka santailah, pilih saat dan waktu yang tepat untuk diri sendiri. Bahagiakan dengan cara demikian. Sesederhana itu.