Jumlah orang yang terdidik secara formal melalui bangku sekolah dan kuliah di Endonesah semakin banyak. Akan tetapi hal tersebut bukanlah serta merta menggambarkan perkembangan sejajar dengan intelektualisme. Artinya, orang yang berpendidikan semakin banyak, tapi belum tentu semuanya pintar. Pengertian tentang intelektual sendiri adalah orang yang mampu berpikir kritis, meneliti dan kemudian menerapkannya dalam kontribusi berupa menjawab persoalan-persoalan normatif di masyarakat.
Dengan orang berbondong-bondong memasuki pendidikan formal ya hal itu lumrah saja karena kita pun tau bahwa untuk menjadi terdidik juga punya banyak motivasi. Selain memang mau jadi tambah berilmu, ada pula yang sekedar cari jodoh, cari ijasah, cari pergaulan, atau cari kesempatan non edukatif lain. Sementara yang pinter pun juga belum tentu bisa beradaptasi dengan baik, belum menunjukkan kualitasnya, atau malah sekedar pamer biar dibilang smart. Bukankah menyenangkan jika dianggap cerdas? Dianggap lho ya. namanya juga pengakuan sosial, ya tetap aja dicari-cari.
Ada banyak contoh yang sebenarnya memprihatinkan sekaligus menggelikan ketika membahas soal intelektualisme yang kebabalasan seperti itu. Misalnya, penggunaan diksi yang tidak tepat seperti kata 'sinergitas', 'rutinitas' dan sejenisnya. Malah ada juga yang jadi sinergisitas. Apa maksudnya? padahal kata yang tepat adalah sinergi atau rutin saja. Ini efek serapan kata yg bercampur dalam bahasa Inggris, Belanda dan Endonesah. Makin ngawur jadinya. Padahal ya nggak perlu pake embel-embel itas segala. Penggunaan diksi dan idiom yang maksa semacam itu juga kerap terjadi dalam lintas ilmu. Pake istilah ilmu pasti untuk masuk ke ilmu sosial, atau sesama ilmu sosial tanpa kejelasan akar kata. Makna dan konteks juga jadi jauh berubah. Geser sana sini poles ini itu tetiba bingung sendiri. Fenomena semacam itu menunjukkan beberapa hal. Pertama, si pengguna mau kelihatan pintar sehingga menggunakan istilah yang orang lain tidak pahami dan dia mau memperlihatkan bahwa dirinya menguasai hal tersebut. Kedua, si pengguna enggan belajar alias males untuk beradaptasi dalam ranah keilmuan yang belum dia pahami dan hanya berpegang pada apa yang ia kenal.
Contoh lain adalah penggunaan istilah yang berlebihan dalam segi penguasaan kosa kata bahasa asing. Dengan semakin banyak kosa kata bahasa asing seperti Inggris yang entah dikuasai dari mana, lepas makna dan konteks pula, maka seolah jadi kelihatan pintar. Orang Endonesah kini punya istilah yang tepat untuk itu: Vickinisasi. Merujuk kepada artis abal-abal minus karya yang cuma pamer drama dan kekuatan kelamin, serta terkenal dengan penggunaan kosa kata da susunan kalimat rumit. Sebenarnya itu menunjukkan kebodohan, tapi dasar orang Endonesah doyan maka hal itu jadi fenomena yang sama atau tidak kemudian ditiru.
"...intelektual adalah orang yang sederhana dalam penyampaian gagasan namun bisa membuat orang lain tercerahkan seketika." ~FRS
Ada juga yang apa-apa serba bahasa Inggris, atau bahasa Inggris yang diendonesahken. Mungkin lucu dan jadi menarik ketika digunakan dalam level pergaulan sosial seperti "you know what I mean kan sewaktu gue buy ketoprak last morning kok itu obvious banget pedesnya kayak too much, sampe telling si abang just in case kita nggak suka chili segitu banyak". tapi dalam ranah bahasan yang lebih serius semacam dalam pekerjaan, profesi atau bahkan ilmiah jelas ngawurnya seujung pol.
Jadi mereka yang mengaku intelektual tapi demen pake bahasa canggih untuk merujuk sesuatu ya sebenarnya sama saja dengan si artis. Nggak ada karya, demen drama biar dibilang hebat tapi bedanya mungkin punya titit kecil. Eh, ini sih Freudian banget ya? Intinya kepedean tapi sering tanpa dasar. Mungkin hanya menutupi rasa minder karena pengetahuan yang sebenarnya terbatas, tapi ogah kelihatan bodoh atau lemah.
Jika benar seorang intelektual sejati, maka sudah sepatutnya paham bahwa penggunaan istilah-istilah asing rumit berbumbu itu harusnya dihindarkan. Seperti halnya mahasiswa strata sarjana bikin skripsi. kalo skripsinya dipahami oleh pembimbing dan penguji bergelar magister atau doktor, itu sih biasa banget. Jangan bangga, nggak ada hebat-hebatnya. Sebab magister dan doktor itu sudah pasti punya level ilmu lebih tinggi. Ditambah pengalaman pula. Kalo nggak paham skripsi sudah pasti kebangetan. Akan tetapi jika skripsi itu bis dipahami oleh mereka yang berpendidikan lebih rendah seperti sekolah menengah, itu baru keren. Semakin rendah strata yang baca dan mereka paham, itu luar biasa kan?
Itulah sebabnya menjadi intelektual pada hakekatnya adalah bukan pamer keilmuan melalui bahasa-bahasa sulit. Seolah cuma dia yang ngerti dan orang lain harus belajar untuk paham. Sebaliknya, intelektual adalah orang yang sederhana dalam penyampaian gagasan namun bisa membuat orang lain tercerahkan seketika. Intelektual sejati tidak pamer ilmu, tapi menyebar dan memperluas keilmuannya secara senyap. Intelektual sejati tidak berisik di forum, panggung, laporan, kelas atau media yang cuma bisa menggurui, cari popularitas atau berlagak pintar. Intelektual sejati tidak berteori, mengutap-ngutip atau cuma salin tempel, mengawang konseptual, terbang ke langit lapis ketujuh, melainkan ada gagasan yang secara otentik bisa disampaikan kepada khalayak yang lebih luas dimana saja dan kapan saja.Kalo cuma mengoleksi istilah-istilah yang membingungkan ya simpen buat diri sendiri aja. Bikin menara gading terus melongok keluar sambil bergumam, "oh alangkah bodohnya publik di luar sana".
Maka ujian tertangguh adalah ketika seseorang menggunakan kapasitas ilmunya dalam ruang sosial lain seperti pekerjaan, profesi, bisnis atau kemasyarakatan dengan secara mudah membuat orang lain bisa paham tanpa jadi kebingungan. Jadilah intelektual masa kini yang bisa tampil bicara, menulis dan berpikir dengan kesederhanaan. Janganlah jadi intelektual masa gitu, apalagi masa iye.