Pada satu titik tertentu, hidup bisa menjadi sangat membosankan, terasa kosong, nggak menarik serta tidak ada yang bisa dilakukan lebih dari yang dipikir atau dirasakan. Ada kalanya dengan intensitas tinggi seperti pola rutin dalam pekerjaan, atau bentuk lain yang dianggap 'gitu-gitu doang', manusia jadi berpikir seperti ada yang hilang. Rasa bosan berubah menjadi kekosongan tersendiri. Terlebih jika membandingkan diri dengan orang lain. Kok kayak hidup gini-gini doang? Kenapa mereka bisa kelihatan lebih senang, lebih menikmati, padahal bebannya pun mungkin tidak seimbang juga. Ketika hampa terjadi, rasanya jadi males, stuck dan enggan melakukan lebih.
Perasaan seperti itu adalah wajar. Nggak perlu juga untuk menjadi sok kuat, harus tangguh, serba sistematis, mengandalkan kepala dan seolah bisa menyelesaikan situasi semacam itu. Sebab seringkali orang mendengar bahwa kejenuhan dan sikap menghadapinya harus dengan dingin, tabah, dan tangguh. Macem paling bener aja. Itulah sebabnya wajar adalah merasakan kekosongan semacam itu tanpa perlu menikmatinya berlama-lama. Wajar menjadi bosan, berkawan dengan kejenuhan untuk sementara waktu. Nikmati dengan santai dan sementara.
Sebab memang nggak ada yang permanen. Kayak hidup ini abadi aja. Justru dengan kekosongan dan kebosanan, orang bisa punya perspektif yang berbeda. Sama halnya dengan saat-saat menganggur nggak ada kerjaan. Ada rasa jenuh hingga malu. Berpikir alangkah enaknya kerja. Sebaliknya, yang bekerja juga mikir. Kok lebih enak nganggur bisa santai, halan-halan pake ha, punya banyak waktu. Jadi apa bedanya? Pada saat jadi pengangguran, tentu saja tidak cukup untuk sekedar berpangku tangan. Berhak untuk cari sibuk. Mengikuti kursus kalo masih punya duit, melatih keahlian selagi bisa, memperluas relasi sosial, menambah kawan baru jika ada dan tentu saja hal itu searah dengan apa yang diinginkan ke depan. Kalo cuma sekedar manyun bengong ya jelas buang waktu. Begitu pula saat kerja, meski tidak punya waktu ya harus berani pula untuk menjadi updated, cari kesempatan atau peluang untuk meningkatkan kapasitas diri. Berhak untuk ongkang kaki. Jadi baik nganggur atau kerja, tetap ada yang bisa dinikmati.
Entah menganggur atau bekerja, ternyata bukan itu yang jadi soal. Masalah yang muncul adalah bagaimana bisa memanfaatkan waktu baik luang mau pun padat. Itu bisa dijawab dengan keberanian untuk menggunakan waktu seefisien mungkin. Mumpung masih ada umur. Kalo cuma berpangku tangan ya bakal gini-gini doang. Lantas apa bentuk kongkretnya? Jawaban yang paling mungkin adalah hobi. Sebab dengan hobi, orang bisa punya keahlian, punya kesibukan atau keasyikan, sekaligus juga punya pengetahuan. Mengetik sepuluh jari kek, merajut kek, maen gundam kek, mancing kek, masak kek, banyak bener tuh. Selain dapat menghilangkan kebosanan, akan ada alternatif yang menantang untuk dicoba hingga bisa menggalinya secara mendalam. Toh hobi nggak harus mahal, nggak harus rame, nggak harus juga makan tempat atau waktu. Tinggal soal niat aja.
"Surround yourself with what you love, whether it’s family, pets, keepsakes, music, plants, hobbies, whatever." ~George Carlin
Selain itu, dengan hobi ada juga yang kemudian bisa membunuh kesepian. Biar nggak gampang setres. Punya kawan atau komunitas baru yang supportif, bisa jadi juga peluang untuk mengembangkan pergaulan dan lainnya tanpa harus terpaku satu atau dua macem lingkungan saja. Sebab mereka yang kesepian itu biasanya emang cuma gitu-gitu amat; udah males gaul, dependen atau bergantung pada komunitas yang homogen. Nggak pernah ngerti dunia yang berbeda. Nah, ini soal lain lagi. Sudah tadinya bosan, kini kesepian. Seakan nggak ada habisnya. Buat mereka yang biasa bersosialisasi tentu mudah cari teman baru. Bagaimana dengan yang tidak? Gampang. Jaman gini nggak harus tatap muka. Banyak yang sejalan bersama hobi atau kegemaran yang bisa dilakukan interaktif secara online. Apalagi buat generasi jaman sekarang. Udah lumrah itu. Hobi juga membuat orang menjadi fokus dan punya kesibukan. Bayangin jika nggak punya kegemaran. Dikit-dikit pusing mau ngapain. Akhirnya cari pelarian. Bisa bikin masalah sama diri sendiri, bisa pula cari perkara dengan orang lain. Semua jadi bahan yang bisa dipikirin kelewat batas. Udah overthinking, eh underpaid pula. Capek nggak?
Jadi jangan remehkan pula ketika orang punya hobi yang mungkin dipandang buruk, menggelikan atau tidak cocok oleh orang lain. Sebab setiap manusia punya cara sendiri-sendiri untuk menuntaskan masalah, mengalihkan fokus dan juga mengembangkan kapasitas personalnya masing-masing. Sejelek-jeleknya kesenangan seseorang, adalah cara yang bersangkutan untuk bisa menikmati waktu biar nggak gini-gini doang. Itu jauh lebih baik ketimbang gegara nggak punya kesenangan, pikiran jadi rusuh dan kemudian malah bikin drama telenovela berseri tanpa tayang tapi disiarkan ke orang-orang terdekat. Atau jangan-jangan hobinya emang gituh? Pantes jadinya gitu-gitu amat.
Lantas apa yang perlu dikuatirkan? Nikmati saja saat-saat membosankan, suntuk dan sepi itu sambil membayangkan apa kiranya kelak yang enak dan suka untuk dilakukan. Sebab suka atau cinta terhadap sesuatu itu nggak ada batasannya. Batas itu terkadang hanya ada di pikiran sendiri dan juga opini orang lain. Selagi bukan mereka yang bayarin makan atau tagihan rekening, ya ngapain juga didengerin. Apalagi nyuruh blagak kuat, tangguh, keren, cool buat menuntaskan rasa sepi dan bosan. Tapi tetep nggak kemane-kemane juga. Macem paling bener aja.