Seperti apapun kerja atau hidup, pasti butuh stress. Sebab stress atau tekanan adalah metode yang cukup ampuh untuk meningkatkan performa. Orang yang berada dibawah tekanan bisa mendadak jadi kreatif berkat the power of kepepet, overthinking, bahkan juga pertimbangan yang lebih kompleks menyangkut soal duit, kebutuhan, pengakuan dan sebagainya. Tanpa stress, kerja atau hidup bakal berasa anyep. Gitu-gitu doang. Terjebak dalam rutinitas atau kenyamanan palsu. Orang yang nggak pernah mikir, mana bisa dipancing untuk kreatif. Orang yang hidupnya begitu-begitu doang, hanya akan sibuk memikirkan dirinya tanpa pernah bisa memberi solusi. Jadi stress itu penting. Tidak ada orang yang kerja atau hidupnya dinamis jika menghindari tekanan. Itu pasti.
Hanya saja, stress harus bisa dikendalikan. Sesuatu yang dibutuhkan tanpa bisa dikontrol bisa mendadak liar seperti senjata makan tuan. Salah satu dampak buruk dari tekanan yang berlebihan baik yang datang maupun ditanggapi adalah burn out. Istilah ini sebenarnya adalah deskripsi terhadap kondisi buruk yang ditimbulkan oleh rasa lelah yang berlebihan terutama di dalam pekerjaan. Efeknya bukan saja secara psikis tetapi juga merembet ke fisik seperti asam lambung hingga gangguan mental. Siapapun bisa saja mengalami burn out, baik karena tindakan yang datang dari luar maupun dari dalam diri seseorang. Datang dari luar misaknya nggak mendapat apresiasi yang layak dalam soal kerja, dinamika kerja tim yang buruk, lingkungan beracun, mendapat load pekerjaan yang terlalu berat, atau rutinitas yang terlalu monoton dan minim variasi, relaksasi atau hiburan sehingga menjadi pengap. Jika datang dari dalam adalah seperti keinginan untuk tetap terus bekerja tanpa batas waktu, bersikap ambisius namun tidak memiliki pondasi yang cukup kuat dan realistis, tidak cukup mampu memilah prioritas secara rutin atau berkala, serta terlalu kuatir dengan apa yang dikerjakan.
Maka mereka yang mengalami burn out dalam pekerjaan adalah mendadak kehilangan semangat, minat dan passion dalam hal apa yang sedang dikerjakan. Bawaannya adalah lesu letih lemah dan ogah-ogahan melirik pekerjaannya sendiri. Perasaan semacam itu kemudian membuatnya tidak mampu mengontrol stress sehingga tumbuh rasa frustrasi hingga benci. Lambat laun apa yang dikerjakan adalah menjadi kurang memuaskan dan kinerja menurun. Konsekuensinya adalah menjadi gampang sewot kalo dikritik. Padahal mekanisme kritik adalah sebagai evaluasi dan improvement buat dirinya. Jika ini ditolak, maka konflik pun bermunculan dan reaksinya adalah emosional, sentitit dan baperan. Kalo dah gitu, nggak heran jika yang bersangkutan menjadi gampang sinis terhadap orang lain. Relasi baik profesional hingga personal dianggap menjadi beban yang semakin berat dan harus dihindari. Gangguan kecemasan, insomnia dan depresi jadi muncul. Jadi siapa bilang stress adalah gampang dikelola?
Selain itu ada asumsi bahwa mereka yang rentan terhadap burn out adalah yang gila-gilaan bekerja, Jadi sedapat mungkin mengerem aktivitas yang dilihat berlebihan dan jad minimalis sebagaimana tema tentang hustle culture dan quiet quitting. Padahal orang yang juga diem-diem aja, berusaha tampil bergaya sederhana, asketis dan sok otentik itu juga gampang banget terkena burn out. Mimpi-mimpi idealis yang selalu diusung itu malah jadi beban ketika hanya jadi konsep yang nggak pernah bisa diwujudkan. Ibaratnya gede kemauan doang, bukan kemaluan. Pengen bisa begini begitu tapi nggak ada yang jadi. Tau-tau kehilangan semangat juga kan? Ujungnya ya menyalahkan orang lain dan tetap memeluk mimpi basahnya sampe keringetan sekujur badan.
“Burnout is nature's way of telling you, you've been going through the motions your soul has departed; you're a zombie, a member of the walking dead, a sleepwalker. False optimism is like administrating stimulants to an exhausted nervous system.” ~ Sam Keen, Fire in the Belly: On Being a Man
Lantas harus gimana? Sudah pasti harus berani mengambil sikap, mengambil jarak dan juga berhitung secara realistis. Pengen nganu ngono mbok ya kelaminnya juga harus diukur apakah mampu bertindak atau cuma bisa bergaya doang. mengurangi ekspektasi, memahami prioritas dan menghibur diri juga penting. Akan tetapi mengubah gaya hidup juga penting. Nggak perlu terlalu lebay sok pamer tanpa kemampuan, atau sebaliknya pura-pura sederhana tapi ujungnya boros juga. Itu sama kayak hukum Fisika yang menyatakan tekanan (Pressure) pada sebuah benda adalah besaran gaya (Force) yang diterima oleh benda itu dengan luas permukaan (Amplitudo). Gaya yang semakin besar akan membuat tekanan semakin besar, terlebih jika luas permukaan ikut mengecil. Jadi nggak usah kebanyakan gaya deh, sebab permukaan hidup yang nggak seberapa itu juga mengakibatkan tekanan makih gede. Nggak paham? cuci muka dulu lah.