Akar bahar (Latin: Expleura sp) sebenarnya adalah hewan adalah hewan kelas Anthozoa yang menyerupai tumbuhan dan membentuk koloni di atas karang di dasar laut. Untuk mengambil bahan akar dari koloni tersebut butuh menyelam hingga belasan meter. Akar tersebut mengeras sebagai proses oksidasi dan timbul semacam lapisan keratin dengan warna gelap. Akar ini yang kemudian diolah menjadi bentuk seperti pohon, gelang atau cincin di hampir seluruh daerah pesisir di Nusantara. Akar bahar sendiri memiliki asal kata Bahar dari bahasa Arab yang berarti laut. Penyebutan lain nama akar adalah Ruhu atau Luhu dalam bahasa Maluku dan juga gelang Uli dalam bahasa Bali. Penyebutan itu merujuk kepada daerah-daerah pesisir Nusantara yang memang terbiasa dengan hasil laut berupa akar bahar untuk dijadikan hiasan atau aksesoris.
Umumnya orang tidak begitu tertarik dengan akar bahar. Stereotipe yang berkembang pertama adalah bentuk akar bahar dianggap kurang estetis dengan warna hitam kelam. Padahal akar bahar sendiri memiliki banyak ragam bentuk dan warna. Selain hitam, terdapat warna akar bahar putih, belang hitam putih, coklat, kemerahan, hijau keemasan dan lainnya. Kedua, penggunaan akar bahar dianggap identik dengan para jawara, jagoan atau preman. Selain itu fungsi akar bahar dikaitkan hanya sebatas ilmu baik kekebalan, daya tarik atau pengobatan. Padahal di era modern, akar bahar sebagai perhiasan telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Penggunaannya tidak saja sebatas pada lelaki dewasa saja tetapi juga tua muda, lelaki dan perempuan dan berbagai kalangan. Fungsi akar bahar memang dipercaya untuk penyembuhan rematik atau sakit pinggang. Caranya dengan meminum rendaman akar tersebut. Selain itu, akar bahar dalam bentuk gelang masih dipercaya memiliki tuah atau pengaruh terhadap peningkatan kapasitas berupa rasa percaya diri dan daya pihak si pengguna terhadap orang lain.
Mereka yang memandang sisi esoteris dari akar bahar biasanya melihat bentuk gelang akar bahar dari dua jenis. Pertama yang memiliki bonggol yakni bentuk benjolan pangkal akar dan Kedua, yang memiliki bentuk lubang di dalam batang akar yang disebut combong. Baik gelang akar bahar yang memiliki bonggol mau pun combong dianggap memiliki tuah tertentu berdasarkan keyakinan si pemilik atau pengguna dan konsekuensinya juga memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dibandingkan bentuk lain. Sejalan dengan perkembangan zaman pula, maka peningkatan kegemaran orang terhadap aksesoris akar bahar seperti bentuk gelang atau hiasan lain kini lebih mudah didapat melalui online market place. Umumnya sentra produksi akar bahar menyebar luas di pesisir pantai Nusantara, seperti di Jember Jawa Timur, Nusa Penida Bali, hingga Ternate Maluku Utara.
Gelang akar bahar di Bali di sebut Gelang Uli. Sepintas dari etimologi atau asal usul kata ini agak membingungkan, karena kata terjemahan kata uli ke bahasa Indonesia adalah dari. Kata akar sendiri dalam bahasa Bali adalah akah. Mungkin maksudnya Gelang Uli adalah gelang yang berasal dari laut. Terlepas dari hal itu, gelang akar bahar atau Gelang Uli di Bali mendapat perhatian dan tempat tersendiri dalam tulisan ini karena beberapa hal. Pertama, aspek eksoteris atau keindahan fisik yang memiliki estetika tinggi memiliki prioritas utama dalam pengolahan akar bahar menjadi perhiasan. Ini ditunjukkan dengan teknik penambahan logam mulia dan batu permata secara manual dan detail yang menjadi ciri khas Bali.
Kedua, berbeda dengan umumnya bentuk gelang akar bahar di daerah lain yang dibuat sealamiah mungkin, Gelang Uli di Bali dibuat dengan dipotong dan diciptakan semacam mekanisme engsel atau pengungkit agar lebih pas di tangan. Jika tidak menggunakan logam mulia atau batu permata, untuk kelas yang lebih rendah dapat menggunakan alpaka, yakni logam campuran nikel, tembaga dan seng sebagai pengganti perak. Penggunaan bahan alpaka biasanya dilaukan dengan sistem cetak atau casting.Tentu saja perbedaan mana yang dilakukan secara manual dan menggunakan cetakan akan berpengaruh terhadap detail dan keindahan bentuk.
Ketiga, umumnya di Bali orang menerapkan konsep Tridatu secara longgar yakni warna merah, hitam dan putih dalam warna batu permata yang digunakan pada bentuk perhiasan termasuk Gelang Uli. Konsep Tridatu atau tiga warna, adalah konsep simbolis yang melambangkan merah untuk Dewa Brahma, Hitam untuk Wisnu dan putih untuk Siwa. Representasi para dewa tersebut diwujudkan dalam warna batu mulia yang digunakan. Mislanya batu ruby atau mirah untuk warna merah sebagai perlambang Dewa Brahma, batu safir hitam untuk perlambang Dewa Wisnu, dan biduri bulan atau moonstone untuk warna putih sebagai simbolisme Dewa Siwa. Jenis batu lain pun tak masalah jika mendekati warna tersebut sebagai unsur estetika dalam perhiasan tradisional di Bali.
Konsep Tridatu sendiri biasanya digunakan dalam bangunan, pura dan manusia untukmemperoleh kerahayuan, menjaga dan meredam segala bhutakala dengan mengandung vibrasi negatif yang hendak mengganggu. Hal tersebut ditulis dalam lontar Agastya Parwa, bahwa Tridatu digunakan manusia digunakan manusia untuk terhindar dari hal-hal negatif dan dapat berpikir lebih bijaksana. Dari sisi kekuatan, ketiga warna tersebut mewakili aksara Ang, Ung, dan Mang yang manunggal menjadi AUM atau OM. Dengan demikian, kebiasaan menggunakan ketiga warna dalam bentuk gelang benang tersebut juga dipakai dalam konsep pembuatan perhiasan Gelang Uli dengan batu mulia.
Ketiga, Bali memiliki puluhan nama penyebutan untuk jenis akar yang digunakan dalampembuatan Gelang Uli sehingga tidak terbatas hanya pada soal konsep bonggoldan combong saja. Nama-nama tersebut bukan saja menampilkan ciri fisiktetapi juga interpretasi atas kemampuan metafisis yang menyertai. Misalnya, Uli Waringin Sungsang berwarna hitam combong dengan posisi tumbuh tidak lazim dimana batang dan daun terbalik menjulur ke bawah. Fungsi Uli ini digunakan sebagai pelindung atau penjaga rumah. Ada juga Uli Sutra Mas yang berwarna coklat keemasan yang berguna untuk menenangkan jiwa dan meredakan amarah. Uli Brahma berwarna hitam kemerahan untuk wibawa. Uli Hitam sebagai penstabil batin dan pencegah rematik atau sakit pinggang adalah jenis akar bahar yang umum ditemukan. Uli Putih yang memantulkan aura gaib dan bisa digunakan sebagai rendaman untuk obat sakit perut. Uli Brumbun yang bercorak warna merah hitam coklat putih untuk menarik energi gaib. Uli Gringsing yang bermotif hitam putih berselang-seling dengan fungsi menetralisasi energi negatif. Uli Sadi yang berwarna putih untuk menangkis secarangan imu hitam. Kewahwah Arungan yang dimaknai memiliki daya sensitif terhadap energi negatif sehingga baik digunakan untuk anak kecil, serta Uli Gadang berwarna hijau keemasan yang berfungsi untuk penolak bala dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Gelang Uli Bali memiliki fungsi tidak hanya sekedar perhiasan dengan aspek Sekala atau fisik yang menunjukkan nilai estetika, kegemaran, kebanggaan, kelas sosial atau status saja, tetapi juga fungsi Niskala atau metafisik yang menyangkut tuah atau kegunaan. Artinya, tujuan dari penggunaan gelang tersebut memiliki makna berupa identitas sosial sekaligus juga memiliki implikasi sebagai penjagaan diri, penajaman kemampuan batin dan aspek pengobatan. Maka tidak heran pula jika sebenarnya fungsi yang sama juga didapat di daerah lain seperti legenda penggunaan gelang akar bahar oleh para Jawara di daerah lain seperti Betawi atau Banten pada jaman dahulu. Deskripsi tentang nilai estetika, kegunaan, mistisisme dan simbolis gelang akar bahar di Bali memperlihatkan kesinambungan antara aspek esoteris dan eksoteris sebuah benda secara total.
Di zaman modern, seperti halnya daerah lain penggunaan Gelang Uli tidak terbatashanya pada sehari-hari. Ada masanya di awal tahun 2000-an gelang ini sempat menjadi trend di Bali dan digunakan tidak saja oleh orang tua tetapi juga anak muda, lelaki dan perempuan. Gelang Uli dengan tambahan perhiasan tersebut biasanya juga menunjukkan status sosial, selain digunakan pada acara penting seperti pernikahan atau upacara adat lainnya. Hingga kini permintaan untuk kerajinan Gelang Uli Bali tidaklah surut. Beragam kreasi ditampilkan dengan ide pembuat atau pemesan, tidak saja terpaku pada unsur Bali tetapi juga unsur lain sesuai dengan selera. Bentuk tidak lagi sekedar mengandalkan unsur khas Bali tetapi juga serapan budaya lain.
Hingga kini kerajinan perhiasan Gelang Uli Bali masih bisa didapat dengan mudah didaerah seputar Denpasar hingga Gianyar. Harga kerajinan Gelang Uli Bali sendiri sangat bervariatif tergantung dari jenis akar dan juga perhiasan yang ditambahkan. Untuk bahan akar yang relatif jarang seperti Uli Gadang yang berwarna hijau keemasan bisa menjadi mahal karena Uli tersebut hanya tumbuh tipis dan dihitung per sentimeter. Sehingga Uli Gadang nyaris tidak dapat menjadi gelang, hanya menjadi mata cincin atau tambahan pada gelang uli lain. Oleh karena dipandang memiliki khasiat terutama baik kelangkaan material dan fungsi Niskala yang tinggi maka tidaklah mengherankan jika Uli Gadang menjadi sulit untuk dicari. Hal ini sama dengan gelang uli lain jika ditambah dengan emas,perak dan batu permata orisinal maka harganya bisa menembus puluhan juta Rupiah. Ini merupakan satu bentuk investasi nilai baik secara sosial mau pun ekonomis bagi para penggemar Gelang Uli Bali. Akan tetapi hal yang paling menyenangkan ketika memiliki gelang akar bahar seperti ini adalah turut melestarikan buah kebudayaan Nusantara dalam wujud seni perhiasan. [frs]
-Artikel ini pernah dimuat di Majalah Kebudayaan ADILUHUNG tahun 2021