Banyak orang sudah pasti ingin selalu bahagia. Konon bahagia itu adalah pencapaian tertinggi yang dikaitkan dengan perasaan. Entah puas dengan pencapaian, terkabulnya keinginan, punya apa saja yang diinginkan atau hidup yang dianggap 'normal' tiada gangguan. Oleh karena itu banyak juga yang salah kaprah terhadap pengertian bahagia, sebab saking banyaknya kategori yang belum tentu masuk dalam kebahagiaan. Semisal bahagia dianggap hanya sekedar perolehan material; punya ini itu tak terhingga. Bahagia adalah peranan eksternal seperti pujian, reputasi dan juga jilatan yang datang dari orang lain. Bahagia hanya milik sendiri, lantaran yang lain cuma sekedar numpang jadi figuran.
Dengan demikian, bahagia yang diraih hanyalah sekedar bahagia semu. Meski sudah jelas bahagia adalah sementara, tapi jika ditafsirkan bahwa itu hanya sekedar materi, eksternal dan personal maka sudah pasti orang hanya bisa menikmatinya secara superfisial atau di permukaan saja. Alhasil, harus bisa mati-matian juga mempertahankannya meski harus dipaksakan. Kondisi yang terpaksa membuat orang menjadi semakin jarang untuk bisa tersenyum lepas. Kok bisa? Senyum itu bahasa hati. Dalam situasi semacam itu, senyum yang keluar ya adalah senyum terpaksa, datar, palsu, mringis dan nyengir. Dibalik senyum palsu adalah perasaan yang sudah terluka bahkan beku. Maka memaksa senyum dan becanda garing setiap saat adalah upaya untuk melepaskan diri dari kondisi itu. Tidak ada ketulusan yang bisa ditawarkan. Gimana mau senyum, sehari-sehari saja sudah sulit untuk bahagia beneran.
Oleh karena ada yang kurang, maka sebagai kompensasi harus ada yang bisa disebarluaskan. Terimakasih kepada media sosial yang sudah menjadi ajang pamer internasional. Pamer sendiri adalah hal yang wajar untuk dikonsumsi selama orang tau mana batas untuk bisa mengeluarkan tampilan. Mereka yang tidak bahagia, paling demen mengumbar segala hal bahkan repetitif. Mulai dari aktivitas berak pagi hingga ngorok malam bisa diunggah, bahkan diulang kembali. Ibarat orang liburan di bulan Desember dan ambil foto sebanyak-banyaknya, maka sampai Juli tahun depan masih bisa dicicil unggah dan tahun berikutnya jadi memori yang siap dishare ulang. Ada juga yang sebaliknya; tidak pernah posting apapun, hanya sekedar forward sana sini biar dibilang ada kegiatan. Hidup yang kosong, bisa diramaikan dengan kembang api atau sebaliknya dibiarkan jadi kuburan kan? Keduanya tetep sama; nggak ada apa-apa juga.
Perasaan semacam itu akhirnya menimbulkan kegelisahan ketika melihat kehidupan orang lain. Ada perasaan tidak puas, gelisah, cemburu dan iri ketika orang lain dianggap lebih bahagia dari dirinya. Padahal semua orang sudah pasti punya masalahnya masing-masing. Ketidakpuasan itu bisa menjadi kompensasi bahagia semu ketika melihat orang lain bermasalah. Jadi nilai kebahagiaan yang didapat tidaklah murni. Cemburu dan iri tidak digunakan secara maksimal untuk memotivasi diri, melainkan untuk sekedar membuat bagaimana orang lain juga tidak bahagia seperti dirinya. Pasang mata dan telinga secara konstan agar dapat menangkap momen-momen ketika orang lain jatuh.
“We don’t even ask happiness, just a little less pain.” ~Charles Bukowski
Jadi bahagia yang datangnya secara eksternal semacam itu adalah hasil ketidakpuasan, lantaran bisa jadi bahagia secara material lebih sulit untuk dijangkau. Maka nggak heran jika orang yang tenggelam dalam kemiskinan mental akut secara lahir dan batin, akan sulit untuk bisa bangkit. Mengapa? Dia hanya percaya kepada dirinya sendiri. Bahagia harus menjadi kepantasan yang tidak bisa dinikmati bersama dengan orang lain. Kalo ada yang mengulurkan tangan, harus disambut dulu dengan rasa was-was dan kecurigaan. Itulah sebabnya orang yang memelihara bahagia semu, tidak akan kemana-mana. Tapi lagi-lagi kondisi memaksa mereka untuk bisa senyum dan tertawa.
Lah apa nggak capek terus-terusan pura-pura bahagia? Kalo capek cari pundak dulu, jangan cari tiang gantungan.