Buat sebagian orang, menjadi kaya adalah impian. Kaya bukan berarti cuma masalah kepemilikan materi atau uang. Menjadi kaya adalah jaminan sejahtera selama-lamanya nggak kekurangan apapun baik secara lahir, fisik, mental, dan pikiran. Akan tetapi menjadi kaya dalam definisi itu ternyata juga nggak gampang. Ada yang bilang karena faktor keluarga atau keturunan; dari sononya emang udah bermental kaya jadi nggak kagetan kalo pegang duit. Ada juga yang mengatakan itu dipengaruhi oleh keruntungan, yakni berada di tempat dan waktu yang tepat. Ada lagi yang melihat bahwa menjadi kaya karena punya bisnis, punya warisan atau sekurangnya mampu mengambil keputusan yang tepat dalam soal keuangan. Sebab punya duit banyak juga belum tentu bisa dibilang kaya kalo pengeluarannya juga banyak dan bikin sakit kepala kan?
Lantas apa yang benar? Dari beragam pendapat di atas, ternyata menjadi kaya tidak ditentukan oleh satu dua faktor saja. tidak juga ditentukan hanya semata kapasitas internal maupun eksternal. Meski diri sendiri berbakat, tapi jika lingkungan tidak mendukung ya sama aja bo'ong. Walau lahir di tengah habitat yang memang berada, tapi kalo perangai dan karakter tidak mumpuni ya juga percuma. Oleh karena beragamnya faktor tersebut maka sudah pasti harus bisa diidentifikasi mana saja yang berpengaruh secara dominan.
Menurut beberapa penelitian, faktor utama yang membedakan orang menjadi kaya dan tidak adalah kerja keras. Ini seringkali disepelekan karena menganggap orang sudah cukup dengan kerja cerdas dan tidak menginginkan tangan menjadi kotor. Kerja keras berarti adalah soal persistence atau ketangguhan. Percuma juga sih cerdas kalo lembek. Dikit-dikit kapok trauma nggak mau nyoba lagi. Maka sikap ngeyelan ngototan kadang juga berguna ternyata. Faktor kedua, adalah jelas pendidikan. Melalui pendidikan formal dan pembentukan karakter, maka menjadi kaya adalah mungkin. Mengapa? Sebab suka atau tidak, pendidikan adalah tiket untuk ke tangga yang lebih tinggi. Pendidikan juga bukan cuma urusan mengasah kepintaran tapi juga mampu berkompetisi dan berkolaborasi dengan orang-orang yang juga menempuh tahapan yang sama. Itu sudah menjadi ketentuan mayoritas yang berlaku. Jangan bandingkan dengan Bill Gates atau Steve Jobs yang katanya nggak lulus. Biar gimana, itu dari Harvard, bukan kampus ruko.
Faktor ketiga adalah kemampuan untuk menginvestasikan modal yang dimiliki. Ini bukan perkara soal main saham doang atau beli deposito. Modal bisa keahlian, bisa kemampuan, bisa kapasitas personal. Modal yang ada diasah, dikembangkan dan dicarikan peluang untuk bisa lebih baik. dengan kata lain, tidak berhenti hanya pada satu titik kepuasan saja. Biasanya kalo gampang puas ya nggak berkembang kan? Faktor keempat yang tidak kalah pentingnya adalah kesederhaan atau frugality. Sederhana bukan perkara pelit, hemat atau perhitungan. Sederhana adalah benar-benar mengatur mana yang dibutuhkan mana yang tidak. Lihat saja orang yang mental dan kantongnya miskin; memaksakan diri untuk memiliki sesuatu yang bahkan belum tentu juga produktif dan bisa memaksimalisasi keahliannya. Paling banter ya buat pamer doang kan?
"Wealth is the ability to fully experience life." ~ Henry David Thoreau
Faktor terakhir yang penting adalah keberanian untuk mengambil resiko. Sebab percuma jika sudah kerja keras, terdidik, tau punya modal dan bisa menjaga gaya hidup tapi nggak berani ambil keputusan yang berani dan berhitung. Adanya cuma itung-itungan maju mundur dan ujungnya ya nggak kemana-mana juga. Keberanian mengambil resiko adalah vital. Meski belum punya apa-apa, tapi kalo berani maka itu adalah cara untuk membuka pintu kesempatan bisa lebih lebar. Jadi kaya bukan sekedar materi atau berpunya. Ini menjadi wealthy, bukan semata rich. Kaya dalam pengertian luas sudah pasti punya resep seperti demikian. Masalahnya, tinggal mau atau nggak. Kalo cuma mau tapi tidak berani ya nonton aja dari pinggiran sambil ngemut kacang. Nggak tau kacangnya siapa eh apa.