Urusan pegang omongan itu sering menyakitkan, sebab tidak semua orang bisa menepati apa yang dibicarakan. Dalam interaksi sehari-hari, sering kita mendengar soal kesanggupan, pemenuhan permintaan hingga antusiasme yang berlebihan tapi tidak pernah terwujud. Hal itu terjadi karena orang mengabaikan apa yang sudah pernah terucap. Padahal janji itu bukan cuma sekedar komitmen. Janji juga menunjukkan seberapa orang mau mewujudkan di tengah banyak halangan atau gangguan. Tidak pernah ada orang yang benar-benar sibuk. Semua hanya soal prioritas kok. Jadi kalo ada yang tetiba batal, nggak jadi, atau bahkan nggak kedengeran kabarnya ya itu soal niat dan karakter. Menunda mungkin masih bisa diterima selama ada alasan yang jelas.
Ada banyak alasan mengapa orang tidak memenuhi janji. Pertama karena cuma sekedar mau nyenengin orang lain. Itu tindakan superfisial tanpa makna. Bahkan cenderung menyakitkan. Sekali dua kali berupaya menyenangkan mungkin bisa dianggap bumbu. Tapi kalo keterusan, ya percuma. Itulah sebabnya alasan semacam itu jadi korosif dalam banyak relasi. Mau yang bersifat personal atau profesional, tentu saja tidak ada hasil yang bisa diharapkan. Istilahnya cuma pehape aja. Alasan kedua adalah karena sulit menolak. Jika yang pertama secara aktif memberi harapan, maka yang ini gegara nggak enakan. Padahal memang jelas nggak sanggup. Baik yang pertama dan kedua adalah ketidakjujuran yang menyakitkan. Selain itu, orang yang sudah berharap dan dikecewakan akan jelas punya penilaian yang tidak lagi sama. Alasan ketiga adalah soal kebiasaan. Tidak menepati, menghindar atau cuma manggut, bukan masalah. Jadi ribet ketika omongan-omongan kecil yang entah karena dendam, karena kecewa atau karena biasa dibohongin malah jadi ganti melakukan hal yang sama. Lama kelamaan itu membesar dan rutin, sampai akhirnya pehape dianggap hal yang biasa.
“A 'no' does not hide anything, but a 'yes' very easily becomes a deception.” ~Soren Kierkegaard
Apapun alasannya, tentu ingkar janji punya efek yang cukup besar. Orang yang emnaruh kepercayaan di awal, jadi terbiasa juga untuk melihat dan menilai bahwa yang bersangkutan memang cuma segitu doang; dilihat sebagai pribadi yang terbiasa menggampangkan masalah. Selain itu, urusan yang lebih besar bukan cuma soal karakter tapi juga prestasi. Hampir semua interaksi yang didasari ngemeng-ngemeng doang jelas tidak akan bisa produktif secara maksimal. Kalo ada ya istilahnya cuma satu dua yang aktif, selebihnya unjuk jari. Berasa udah kayak punya prestasi tapi jatuhnya medioker. Muter di situ-situ aja. Tidak pernah ada sesuatu yang wow dan kelihatan. Hanya remah-remah berjatuhan.
Maka memegang janji itu penting. Selain memang benar serius mau menyenangkan orang lain, terlihat sebagai sebuah karakter yang baik, ada hasil yang memang bisa didapat. Perkara bagus atau nggak, yang penting berusaha menepati sebaik-baiknya. Tapi dasar manusia, pasti ada aja alasannya kan? Sebab yang bisa menepati janji cuma merpati; selalu pulang kandang setelah terbang. Kecuali kalo mampir warung tenda pinggir jalan. sudah pasti bakal pake mentega jadi gorengan.