Politik adalah segala aktivitas atau usaha yang dilakukan seseorang ketika berinteraksi atau berkaitan dengan orang lain dalam lingkup yang lebih besar. Definisi umum semacam itu bisa diperluas lagi ketika orang tersebut berada sesuai dengan kapasitas atau peran tertentu semisal sebagai anggota keluarga, komunitas, profesi, warganegara dan sebagainya. Tujuan politik adalah kekuasaan. Tapi jangan bayangkan bahwa kekuasaan itu selalu bersifat formal atau normatif seperti lembaga perwakilan, pemerintahan dan semacamnya. Kekuasaan juga ada di sekeliling kita seperti atasan-bawahan, klien-vendor, orang tua-anak, suami istri, dokter-pasien dan sebagainya. Oleh karena itu kekuasaan bersifat asimetris atau tidak setara. Jadi, tujuan politik adalah ketika berasa di atas maka harus bisa mengeksekusi kekuasaan sebaik-baiknya dan ketika di bawah ikut menjalankan dinamika tersebut agar tujuan masing-masing bisa tercapai. Maka jelas bahwa tujuan politik adalah kemaslahatan, bukan sekedar kepentingan pribadi.
Oleh karena itu politik berjalan dimulai pada relasi yang paling terkecil. Misalnya, anak kecil punya agenda untuk minta permen kepada orangtuanya. Cara yang ditempuh adalah membujuk atau merajuk. Sama seperti pasangan terhadap kekasihnya. Dengan kata lain bentuk dasar semacam itu sudah dipelajari sebagai upaya untuk melakukan negosiasi. Nggak heran kalo antar negara kayak gitu disebut bagian dari diplomasi. Mulai dari melakukan kerjasama, intervensi, konflik, perundingan, dan sebagainya adalah dinamika politik. Apalagi dalam skala terkecil. Emangnya minta permen bisa langsung dapat? Selain itu politik juga adalah cermin dari keputusan dan aktivitas sehari-hari. Mulai dari pilih baju dan warna apa yang mau digunakan hari ini, hingga pulang ke rumah mau lewat mana adalah tindakan politik. Lagi-lagi, apakah ada bentuk spontan dalam kegiatan semacam itu? Nggak ada. Sudah pasti penuh perhitungan. Pilih warna baju karena mood atau mau bikin impresi tertentu, adalah bagian dari strategi. Mau pulang lewat mana dengan memperhitungkan kemacetan, efisiensi bahan bakar serta waktu adalah juga strategi. Maka lumrah jika manusia adalah binatang politik. Mau bilang benci atau tidak berpolitik sekalipun, itu juga adalah keputusan politik.
Dengan kata lain, tiada hari tanpa berpolitik. Hanya saja, apakah tujuan yang mau dicapai itu semata demi keuntungan pribadi ataukah kepentingan lain yang lebih besar? Banyak orang yang kemudian melihat politik hanyalah pengalihan tanggungjawab, kelicikan atau sekedar meraup profit. Tindakan seperti itu jelas keliru dan tidak etis. Sama halnya seperti disuruh orang tua, bawaannya ngeles ada aja. Tidak melakukan apapun sehingga berakibat kepada inefesiensi tindakan serta tujuan terbengkalai. Begitu udah gede, jadi politisi dan wakil rakyat, tindak korupsi serta penyelewengan jabatan juga jadi lumrah. Itu perkara mental yang tumbuh karena terbiasa apa-apa maunya instan. Kuasa yang kemudian muncul diharapkan menjadi berlipat ganda tanpa bisa diganggu gugat. padahal politik juga perlu pengawasan agar secara etis tetap berada pada jalurnya yakni kepentingan orang banyak. Kok bisa gitu? Wajar saja, sebab budaya instan itu nggak cuma soal merebus mi. Seorang politisi, idealnya tau persis apa yang dirasakan dan menjadi kebutuhan komunitas tempat ia tinggal sebagai basis suara. Dengan turun setiap hari, mengenal orang-orang yang ada maka ia punya tanggungjawab moral dalam berpolitik. Tapi kebanyakan kan nggak gitu. Besar gegara media sosial, dukungan finansial, relasi keluarga, nggak pernah paham permasalahan di daerah pemilihan, tapi bisa terpilih. Hebat kan?
"The human being is in the most literal sense a political animal, not merely a gregarious animal, but an animal which can individuate itself only in the midst of society." ~Karl Marx
Oleh karena itu, berpolitik adalah kemampuan yang harus diasah dan dikembangkan sejak dini. Mau membujuk atau merajuk kepada emak bapak, kepada pacar, pasangan, bahkan relasi asimetris lain haruslah bisa licin dan menguntungkan semua pihak meski situ dapet porsi yang paling besar. Masih banyak orang yang kemudian cuma mengandalkan ego, dikit-dikit ngambeg nggak jelas juntrungannya, tapi maunya tetap disuka banyak orang. Dikit-dikit merasa dirinya populer padahal kenal orang aja juga lebih banyak klaim ketimbang membangun relasi sungguhan. Dikit-dikit merasa bisa segala, tapi hampir semua yang dikerjakan boncos. Terus gimana mau disebut binatang politik? Ada juga binatang doang. Masuk bonbin dong kalo gitu.