Belum lama ini, Ibuk Menteri Keuangan sempat mengatakan bahwa anak muda semakin susah punya rumah sehingga ikut mertua. Pernyataan tersebut sebenarnya bukan barang baru. Sebab sejak dulu memang numpang di Pondok Mertua Indah sudah kerap terjadi. Edukasi di dalam keluarga Endonesah jarang sekali bisa melepas anaknya tumbuh dewasa mandiri. Berbeda dengan di Barat yang umumnya begitu usia 17 tahun sudah harus belajar menghidupi bahkan tinggal sendiri, di Indonesia sampai beranak pinak pun masih tetap tinggal di balik pintu yang sama. Nggak mandiri gitu? Bukan. Sebab untuk bisa bersaing secara keras di dalam hidup seringkali terbentuk sikap protektif yang berlebihan orang tua dari satu generasi ke generasi yang lain. Hingga bisa lepas netek pun masih juga tidak lepas untuk urusan lain bahkan keputusan untuk kuliah, kerja, pacaran, maka orang tua selalu berusaha untuk ikut campur dengan alasan menyediakan alternatif yang terbaik. Jadi katakanlah mau semandiri apapun, misalnya sudah lulus, bisa nyari duit sendiri, ya tetap aja balik ke orang tua. Apalagi jika anak dipandang sebagai bentuk investasi yang siap petik di penghujung masa nanti, sekaligus mewariskan masalah berikut mengurusi saudara-saudara yang lain.
Tapi seberapa pentingnya rumah? Untuk ukuran jaman sekarang, sebenarnya kepemilikan itu jadi nggak penting. Apalagi pernyataan si ibuk tadi ujungnya juga kecemasan pemerintah terhadap sektor properti yang terancam jika angka Non Performing Loan (NPL) alias kredit macet menjadi bertembah banyak. Bayangin aja, udah buka lahan, cari pinjaman ke bank, bangun rumah, tetiba gegara krisis tau-tau konsumen gagal bayar. Pengembang bisa gigit jari jadinya. Kepemilikan tempat tinggal nggak harus dalam bentuk membeli atau paling gampang tinggal bareng mertua, ortu, keluarga besar tapi juga bisa ngontrak atau ngekos. Nggak harus juga rumah bertanah, tetapi bisa rumah tapak atau apartemen. Secara cost bisa lebih murah ketimbang membeli. Biaya perawatan cukup dilakukan semasa hidup. Meski demikian, ada juga kekurangannya yakni nggak bisa diwariskan atau jadi aset. Konsep ini jelas beda dengan pikiran generasi jaman dulu yang masih menganggap kepemilikan properti rumah bertanah adalah bagian dari privilege dan juga gengsi sosial. Ukuran keberhasilan hidup juga didapat dari kepemilikan rumah. Nggak punya rumah sama dengan gembel. Semakin besar dan banyak rumah, semakin bagus. Maka ukuran ideal luas rumah 50 tahun lalu adalah sekitar 300 m3.
Tapi begitu anak-anak dewasa dan sebagian pergi dari rumah, maka rumah juga tetap butuh perawatan kan? Maka tidak heran jika rumah kemudian menjadi sepi dan bobrok. Uang yang dulu digunakan untuk biaya perawatan dan diambil dari gaji, ketika pengsiun ya jumlahnya tidak berkurang. Malah nambah. Padahal penghasilan jelas menyusut. Belum lagi soal pajak bumi bangunan dan lainnya. Di kota besar jumlah itu semakin tinggi. Maka konsep tempat tinggal pada akhirnya mengalami redefinisi. Mau tetap nyaman tapi jauh dari pusat kota, atau bertahan di tengah-tengah dengan resiko biaya yang terus naik. Problem ini sebenarnya sudah ada sejak beebrapa dekade lalu. Tapi baru sekarang disadari setelah gaya hidup, penghasilan dan pengeluaran semakin tidak sebanding. Hingga akhir abad lalu, rumah dengan luas 70 m3 dianggap terlalu kecil untuk sebuah keluarga kecil. Akan tetapi sekarang apartemen 40 m3 dengan dua ruangan terpisah dianggap sudah memadai. Jadi gimana dengan yang 300 m3? Lupakan. Demi alasan kepraktisan, maka kebutuhan dengan memperhitungkan faktor luas jadi menyusut.
"Everybody wants to save the earth; no one wants to help mom do the dishes." ~P J O'Rourke
Jadi makin lama memang kebutuhan akan tempat tinggal akan memperhitungkan banyak faktor yang lebih kompleks, tidak saja karena soal penghasilan atau kemampuan bayar, tapi juga soal kebutuhan, perawatan, dan pastinya tanggung jawab. Tinggal di mana pun, tetap saja butuh yang namanya kemampuan untuk bisa mengelola atau merawat. Terlepas dari bagaimana statusnya. Dulu orang bilang itu ilmu bapak-bapak; mulai dari urusan air bersih, air minum, kelistrikan, sedia spare parts atau suku cadang, stok bahan, persoalan serangga dari nyamuk, lalat hingga rayap, genteng bocor, pompa rusak, kanopi bocor, daftar tukang, tau harga baku, ongkos kerja, hingga urusan beli atau nyiapin bahan ganti. Mau tinggal di tempat sendiri atau orang lain, tetap saja skills untuk itu tetap diperlukan. Masa iya udah cuma bangun makan tidur terus nggak bisa apa-apa? Malu-maluin. Sekarang itu pun nggak cuma urusan babeh-babeh, tapi minimal jadi pengetahuan umum. Berlaku buat siapa saja yang memang pada dasarnya tinggal dan hidup di suatu tempat. Masa ngadu ke pak erte?