Dalam ruang pendidikan formal saat ini terutama pada jenjang sarjana, pembelajaran filsafat seperti pelatihan penalaran berupa logika, etika, estetika kian dianggap nggak penting. Kok bisa gitu? Wajar saja, karena perguruan tinggi mulai berubah bentuk, pola dan tujuan. Pertama, ada kebutuhan untuk bisa bersaing atau berkompetisi dengan yang lain. dengan banyaknya institusi pendidikan yang menjamur, maka daya saing harus bisa diperkuat. Mulai dari iming-iming cepat lulus, menebar jaring dan menjemput bola bikin kampus-kampus kecil di pelosok, hingga mengisi materi pendidikan secara pragmatis. Tujuannya supaya punya output lulusan yang siap pake. Filsafat masuk nggak? Jelas kagak. Nyusahin malah. Walau sebenarnya tanpa belajar logika, dosen pembimbing bakal keteteran ngurus mahasiswanya saat skripsi kelak. Sistematika penulisan ancur-ancuran hingga hanya pinjem tempel.
"...sesuatu yang butuh proses panjang seperti pendidikan tidak lagi diminati dalam konteks asalnya, melainkan hasil yang disegerakan seperti ijasah." ~FRS
Kedua, meski kebutuhan akan mata kuliah praktis meningkat tapi perguruan tinggi sejak dulu juga tidak pernah luput dari pesan politik berupa mata kuliah sponsor. Dulu dikenal ada penataran P4 atau Pancasila. Jadi mata kuliah pula bersama dengan kewiraan, ketahanan nasional, bela negara atau nama sejenis. Pas jaman-jamannya lagi gencar ngemeng enterpreneurship, muncul mata kuliah kewirausahaan. Lagi serunya ngomong soal fenomena korupsi, muncul juga mata kuliah anti korupsi. Filsafat? kelasnya pun dianggap sama seperti itu. Kalo bisa dibuang, ya dibuang malah. Padahal mata kuliah seperti pengantar filsafat atau logika punya dampak serius terutama cara berpikir di semester awal. Apakah lantas belajar Pancasila dan kawan-kawannya bisa langsung selamanya jadi punya semangat juang tinggi? Ntar cuma nganggep dicekokin soal propaganda politik. Belajar kewirausahaan kontan jadi pengusaha? Bedain mana marketing, sales atau trading aja bingung. Atau belajar anti korupsi nggak bakalan jadi koruptor? Belum tentu. Korupsi aja masih dilihat soal duit, padahal datang ngaret ke kampus itu juga korupsi waktu.
Ketiga, dengan tumbuhnya kebiasaan yang bersifat transaksional dan instan sebagai nilai baru kelas menengah urban maka menghasilkan bentuk paradoksal tersendiri. Di satu sisi, bertransaksi membuat orang menjadi kalkulatif dan rasional tapi di sisi lain memiliki pertimbangan untung-rugi, efisiensi dan efektivitas meski tidak selalu pada tempatnya. Itulah sebabnya sesuatu yang butuh proses panjang seperti pendidikan tidak lagi diminati dalam konteks asalnya, melainkan hasil yang disegerakan seperti ijasah. Sebab selembar kertas itu dianggap merupakan output nyata, apapun caranya. Ijasah adalah pencapaian yang tangible atau kelihatan dan patut dirayakan meski kerap belum tentu ada hubungannya seperti pencantuman gelar dalam undangan kawinan, jadi pembicara, atau pas muncul di tipi. Lucu ya? Pengen tampil cerdas tapi membuang kecerdasan itu sendiri.
Jadi lama kelamaan belajar sesuatu yang bertujuan membuat mempertajam kognitif hingga kecerdasan eksistensial dianggap nggak penting. Secara sarkas mata kuliah yang berbau filsafat dilihat tidak punya dampak, selain cuma mempekerjakan para sarjana dan magister filsafat saja yang kelimpungan mencari contoh faktual. Mereka cuma bisa berpikir konseptual, nggak pernah membumi, kalo ngomong serba tinggi, tapi ngurus dapurnya aja ribet belepetan. Maka tidak mengherankan jika upaya-upaya untuk bisa membuat pengajaran filsafat menjadi kontekstual dianggap menggelikan sekaligus irelevan. Tetiba ngomong filsafat bisnis, padahal yang dibutuhkan adalah bisnis berdasarkan keahlian praktis. Tau-tau berwacana soal etika lingkungan, padahal yang dibutuhkan adalah pengelolaan lingkungan secara teknis. Ujug-ujug ngomong seksualitas di kampus, padahal preda eh pendekatan etis saja tidak akan pernah cukup. Apalagi pake istilah dosa dan moral. Makin jadi teologis aja, sebab filsafat cuma embel-embel.
Maka sungguh miris jika filsafat harus terbuang, terlebih konon akan semakin banyak asumsi yang digunakan untuk melihatnya sebagai sesuatu yang semakin irelevan, mengambang, tak pernah bisa kontekstual bahkan faktual. Dengan semakin banyaknya perguruan tinggi yang 'mengikuti tuntutan jaman' alias bersikap pragmatis untuk bisa bersaing, maka ilmu filsafat dianggap hanya cukup dan bisa dipelajari sebagai sebuah keahlian berpikir yang harus sudah ada sebelum memasuki dunia kampus tanpa perlu jadi mata kuliah. Dihapus? Nah, tambah kacau dong. Terlebih jika pengajarnya saja secara administratif belum jadi dosen tetap, belum punya nomor induk dosen nasional, belum update soal perkembangan terkini, belum terjamin kelangsungan karir, belum-belum udah puyeng aje kan? Terus bagaimana mau memajukan bangsa? Padahal belajarnya sudah merdeka lho. Katanya.