Memberi definisi terhadap bahagia (happiness) itu sebenarnya gampang. Sebab bahagia selalu terkoneksi dengan perasaan. Ada yang membuncah girang, ada yang bergejolak berdebar-debar kesenangan. Tapi yang sulit adalah rasa bahagia dari perasaan itu juga terhubung kepada indra yang ada. Baik mata, hidung, kulit, lidah memberikan banyak masukan dan perbandingan yang kemudian diolah melalui pikiran. Kemudian pikiran memberi konsep yang bisa jadi jauh berbeda dan kompleks ketimbang situasi awal. Contoh sederhana ya semisal melihat orang makan eskrim. Ekspresi orang tersebut tampak senang. Dirimu melihat orang itu sedang menikmati. Warna eskrim yang menggoda, tesktur yang lembut ditangkap oleh penglihatan. Bau vanilla, duren atau aroma yang kemudian juga menggoda hidung. Semua indra meronta ingin merasakan dan bekerja memberi masukan dan perbandingan ke dalam pikiran. Otak kemudian bekerja dan memberi definisi soal ekspresi nikmat. Itulah bahagia? Maka ada banyak pilihan. Ikut mencicipi eskrim, beli sendiri, merampas atau bahkan menjatuhkan eskrim ke tanah supaya orang itu tidak menikmati.
Banyaknya pilihan itu yang kemudian membuat pikiran menjadi rumit, karena ada pula soal cara, proses dan konsekuensi yang harus diambil. Konsekuensinya, orang seringkali berusaha membuat simplifikasi atau menyederhanakan masalah. Ini lucu lantaran kalo mau sederhana ya bisa saja proses dipermudah. Tapi masalah yang cukup substansial seperti misalnya keinginan untuk bahagia itu dibuat untuk tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Sebagai contoh, orang tidak bisa membedakan definisi antara kaya (rich) dengan sejahtera (wealth). Kaya lebih bersifat kebendaan, sedangkan sejahtera tidak hanya benda tetapi juga kepemilikan yang bersifat imaterial. Maka untuk bahagia, yang paling bisa dilihat secara kasatmata adalah dengan menjadi kaya. Tentu saja ini perspektif yang keliru sebab kaya kemudian diberi definisi adalah penguasaan materi sebanyak-banyaknya.
Lantas jalan apa yang paling mungkin untuk bisa menjadi kaya dalam pemahaman seperti itu? Mengandalkan gaji sudah pasti nggak mungkin. Berbisnis dengan legal keuntungannya tipis dan belum lagi berurusan dengan pajak. Maka orang yang mempunyai pemahaman seperti itu akan menggunakan segala daya upaya yang dimiliki, kalo bisa berjemaah dengan yang lain untuk melakukan korupsi. Seerti diketahui, korupsi juga bukan soal uang tapi pemanfaatan ruang dan waktu yang berujung kepada macetnya sebuah sistem untuk memperkaya diri sendiri. Oleh karena definisi kata adalah penguasaan materi sebanyak-banyaknya maka sedapat mungkin aset dan benda dikumpulkan. Untuk apa? Sudah pasti untuk pemuasan rasa bahagia yang semu. merasa sudah bisa memiliki banyak hal, terlebih tanpa perlu menguarkan keringat. Maka tidak mengherankan jika para koruptor identik dengan benda paling mahal, paling jarang dan paling langka untuk bisa dimiliki. Ada kepuasan yang terus berulang tanpa memikirkan kegunaan. Bisa naik pesawat pribadi main judi di luar negeri, punya kendaraan mewah dan perilaku boros yang tidak akan pernah ditunjukkan oleh orang-orang yang bekerja keras untuk itu.
“Wealth is the ability to fully experience life.” ~Henry David Thoreau
Maka perasaan bahagia yang didapat adalah sudah pasti benar-benar semu karena input yang diberikan melalui indra adalah untuk sekedar mencari sensasi. Tujuan kebahagiaan hanya untuk memperoleh kepuasan atas kepemilikan dan tidak lebih. Maka koruptor serimgkali tergoda dan terjebak lebih dalam untuk melakukan hal-hal yang jauh melanggar hukum. Sudah korupsi, main judi, pengguna narkoba eh jadi bandar pula. Lantas bahagia macam apa yang didapat sesudahnya? Jadi bahagia itu sebenarnya sederhana kok; asal pikiran tidak memprovokasi masukan dari indra saja sudcukup. Tapi dasar namanya manusia; selalu nyaris tidak puas dan berusaha membandingkan dengan yang lain. Lihat tetangga beli mobil baru, kepincut juga mau ikutan punya. Tau-tau ambil jalan pintas entah korupsi atau ngerampok. Lebih parah lagi malah bunuh tetangga buat ambil mobilnya. Ujungnya masuk sel dan jadi manusia terhina. Bahagia apanya?