Semua orang selalu berharap hal yang terbaik akan datang pada dirinya. Entah soal kesuksesan, keberhasilan atau apa yang jadi angan-angan. Sukses ada yang soal materi, kepemilikan, harta, cuan hingga apapun yang bisa dipegang. Ada juga yang immaterial seperti soal cinta, keluarga, pertemanan, dan lainnya.
Akan tetapi tidak semua orang mengerti, paham dan mampu melihat bahwa untuk bisa mendapatkan hal yang terbaik harus melewati proses yang cukup berat. Proses bisa bertarung dengan waktu, tenaga, biaya, usaha, bahkan hal-hal yang tidak diduga untuk dapat dikorbankan. Artinya, nggak ada yang gratis, percuma atau tanpa modal apapun untuk dapat begitu saja mendapatkan apa yang diinginkan. Semua selalu punya harga, entah sedikit atau banyak, murah atau mahal, tapi diharapkan sepadan dengan yang yang diinginkan.
Itu menjadi tantangan yang mau tidak mau harus bisa dijawab ketika seseorang punya keinginan. Biasanya pula hal yang pertama menjadi taruhan adalah soal kenyamanan. Mereka yang terbiasa hidup rutin, akrab dengan ruang monoton, atau kasarnya ya gitu-gitu doang, kemudian menghadapi situasi yang tidak nyaman ketika mau berubah. Bahkan ketika ketidaknyamanan mengikis kebiasaan, situasi juga menjadi tambah berat. Biasanya cuma A, sekarang jadi ABCD. Sehari-hari kagak mikir, sekarang dipaksa berkerut jidat. Rerata nggak ngadepin masalah, sekarang jadi makanan rutin untuk dipecahkan.
Akhirnya keinginan tinggal angan, sebab dalam prosesnya nggak semua orang yang mau pun akhirnya sanggup menjalankan. Mereka yang setengah hati, berbalik arah, menunda bahkan membatalkan proses adalah karena tidak sanggup. Ketidaksanggupan itu dipicu oleh soal kenyamanan yang terganggu. Terbiasa rutin, enak nggak ada apa-apa sekarang kok malah seolah dipaksa berhadapan dengan situasi yang bikin galau. Tentu saja, apa yang awalnya diinginkan sebagai sebuah perubahan atau peningkatan, malah kembali anyep nggak guna. Segala usaha jadi sia-sia.
Hal itu terjadi karena beberapa hal. Pertama, ada ketidaktahuan bahwa segala sesuatu di dalam hidup punya harga. Orang yang terbiasa hanya menerima, tidak melihat bahwa hidup adalah pertaruhan tiada henti, bukan sekedar pertarungan. Mau apa-apa memang harus bisa tukar tambah. Istilahnya mendapatkan sesuatu tapi jangan sampai merugi. Tidak ada tempat buat cuma pengen doang, tapi ogah keluar lebih. Maka orang yang berhasil adalah mereka yang terbiasa kalkulatif dalam skala besar, bukan cuma yang takut dan sok perhitungan seperti mau cuan lebih tapi waktu, tenaga dan pikiran menjadi lebih tersita.
Kedua, kunci dari perubahan adalah dedikasi buat diri sendiri. Hal ini bisa dilihat dari portofolio seseorang; sejauh mana ia punya dedikasi dalam dirinya? bagaimana dengan kelangsungan relasi entah personal atau profesional dengan orang lain? Rekam jejak nggak pernah bohong. Berapa banyak ia berpindah karena menghindar dari situasi yang tidak menyenangkan? Umumnya mereka yang gagal adalah bukan karena tidak mampu menghadapi situasi, tapi pada dasarnya adalah enggan untuk mencoba melihat dalam perspektif yang lebih besar.
Every dream has a process and a price tag. Those who embrace the process and pay the price, live the dream. Those who don't, just dream. ~Jeremy Riddle
Maka hal-hal semacam itu terefleksi juga pada kelas sosial yang berlaku. Orang dari kelas menengah atas, punya peluang lebih besar karena mereka melakukan sesuatu untuk mengejar keinginan dengan melihat skala lebih besar. Boleh saja ada waktu, uang dan tenaga yang harus dikorbankan di depan tapi hasilnya bisa jauh lebih besar di belakang. Orang dari kelas menengah bawah, akan selalu berkutat dengan pengeluaran waktu uang dan tenaga sekecil-kecilnya di depan. Gue bakal terima apa? Tapi ujungnya emang nggak mikir perolehan yang lebih strategis di belakang.
Nah, jadi jelas kan kenapa dedikasi penting dan situ masuk yang mana dalam konteks mengejar keinginan?