Banyak orang berlomba ingin tampil jadi sosok yang punya sesuatu, diakui sebagai sesuatu atau sekurangnya punya pencapaian sesuatu. Maunya tampil superior; unggul melebihi yang lain, atau bisa menonjol di antara kerumunan. Inisiatif semacam itu tidaklah keliru, malah memang seharusnya ketika orang ingin tampil maka akan ada sesuatu yang bisa ditawarkan. Kalo mau kelihatan berbeda dan lebih, harus berani menunjukkan bukan saja perbedaan tapi juga apa kelebihan yang dimiliki.
Masalahnya, seringkali orang berhenti hanya pada mau tampil beda saja. Tidak ada sesuatu kelebihan yang bisa ditawarkan, tidak ada makna yang lebih dari sekedar diferensiasi tampilan. Isi malah sama atau malah biasa aja. Kok bisa? Sebab menjadi berbeda hanya dimaknai pada kulit-kulitnya saja. Ibarat kemasan doang yang di-refurbished, tapi jeroannya tetep barang jadul. Selain itu, menjadi berbeda sudah pasti punya pembeda yang signifikan alias penting. Kalo berada di sekumpulan para artis atau aktor film hanya dengan modal cantik atau ganteng sih sudah banyak. Setidaknya ada skill atau keahlian yang mendukung, pendidikan yang memadai, pengetahuan yang mumpuni, serta modal lain yang bisa digunakan ketika cantik atau ganteng surut. Demikian pula dalam dunia akademik. Kalo cuma modal pengetahuan saja jelas nggak cukup. Jaman gini butuh terapan. keahlian nggak hanya cuma bisa mengulang, mengajar, tapi juga menulis, meenliti serta terhubung dengan baik kepada dunia luar. Nah, dalam dimensi apapun terlihat jelas bahwa pembeda adalah sekumpulan hal ekstra yang bukan saja menjadi tambahan atau pelengkap, tapi juga bermakna lebih dari yang sudah ada.
Jadi jangankan artis atau pendidik; orang lain pun yang hanya mengandalkan kemasan akan jauh tertindas ke belakang, dibandingkan dengan mereka yang secara sadar memaknai bahwa suka atau tidak selalu ada kompetisi di dalam hidup. Jadi di satu sisi, pilihan untuk pura-pura berlomba dengan tampilan sebatas kulit doang akan percuma. Di sisi lain, memilih untuk menjadi biasa-biasa aja juga penuh ancaman. Kok gitu? Pertama, orang yang biasa-biasa aja alias medioker tidak akan tahan dengan perlombaan macem demikian. Padahal dalam kehidupan apapun, semua punya tujuan yang sama yakni berusaha unggul meski motifnya berbeda-beda. Ada yang aktualisasi diri, ada yang sekedar materi, ada juga kepuasan batin doang. Tapi di tengah kerasnya hidup dan sempitnya kesempatan, maka mau tidak mau siapapun juga akan merasa dapat disisihkan, dilupakan, dilewati, dilangkahi, ditinggalkan, hingga terseok-seok menghitung berapa banyak yang terajdi. Mau urusan personal, profesional, bisnis atau apapun, you name it. Tidak ada belas kasih yang tulus untuk membiarkan kepada jadi injakan orang yang mau lewat.
Kedua, tampil medioker hanya jadi bahan tertawaan ketika memaksakan diri untuk berkompetisi. Lain cerita kalo minggir cuma jadi penonton aja. Nggak masalah kalo siap untuk beli tiket mahal tapi nggak pernah ikut lomba. Tapi kalo mau beneran ikut lomba, nggak ada cerita juga untuk sekedar pas-pasan dan jadi juru kunci. Bukannya apa-apa, tapi itu menyebalkan dan sekaligus melelahkan. Sikap biasa-biasa atau ala-ala cuma cocok jadi peran figuran, tapi bayangkan jika untuk meraih posisi itu harus pula ngajak-ngajak yang lain. Apalagi jika menyangka bahwa diri ini sudah layak atau dapat bersaing tapi nggak pernah melihat dunia di luar sana. Tapi itulah mediokrasi; berada dalam sekumpulan orang yang saling mengagumi diri sendiri seolah sudah punya keistimewaan. Penyakit semacam ini tumbuh pada mereka yang punya keleluasaan pikir tapi tak mampu membuatnya menjadi terapan, punya modal materi tapi nggak punya sistematika pengelolaan, punya skill atau keahlian fisik yang hebat tapi nggak bisa berpikir konseptual. Jadi ya semua sama aja kan? Sebab menumbuhkan apa yang idealnya ada tidaklah segampang membalik telapak tangan.
"Mediocrity knows nothing higher than itself, but talent instantly recognizes genius". ~Arthur Conan Doyle
Jadi jangan salahkan orang yang bisa pamer, karena dia tau apa yang harus ditunjukkan dan kepada siapa ditujukan. Orang yang medioker mau pamer justru keliru karena justru memperlihatkan ketidakmampuan dan ketidakmatangannya secara nyata. Orang yang biasa-biasa aja dan menghilang, ya memang sudah tempatnya demikian. Itulah sebabnya menjadi biasa banget bukan pilihan kalo masih merasa harus bersaing. Lebih baik duduk manis nonton di luar arena sambil sruput kopi. Gratis pula.